PEMBELAJARAN
SISWA DI KELAS YANG BERAGAM
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah
Belajar dan
Pembelajaran Ekonomi
Dosen pengampu Dr. Neti
Budiwati, M.Si
Disusun oleh:
Dhea Rizkiyanti 1600092
Eva Hadijah 1600152
Fera Fadlilah 1605873
Gheatifhal Salsabila 1601104
Hana Muldi Supyati 1602224
Humaira Saras 1600000
Ira Yulia Agustina 1602162
Nada Minel Safitri 1601884
Putri Liany 1607249
Reffi Kusmeilisa 1600797
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS
PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2017
KATA
PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Pembelajaran Siswa di Kelas yang
Beragam” dengan tepat waktu.
Makalah ini
telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Neti Budiwati, M.Si, dosen mata kuliah
Belajar dan Pembelajaran Ekonomi yang telah memberikan bimbingan dalam
penyusunan. Dan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
kontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari
bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu, dengan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Kami berharap
semoga maklah ini memberikan manfaat maupun inspirasi bagi pembaca. Akhir kata,
kami ucapkan terima kasih.
Bandung,
5 Juli 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar
Isi................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar
Belakang Masalah......................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan..................................................................................... 2
D. Manfaat................................................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN........................................................................................ 4
A. Dukungan
Teoritis dan Empiris.............................................................. 4
B. Eksepsionalitas
atau Keluarbiasaan........................................................ 9
C. Budaya,
Etnik dan Ras.......................................................................... 10
D. Keberagaman
Bahasa............................................................................. 16
E. Perbedaan
Gender................................................................................. 17
F. Perbedaan
Kelas Sosial.......................................................................... 22
G. Beberapa
Pemikiran Akhir dan Isu-isu Tingkat Sekolah....................... 25
BAB
III PENUTUP................................................................................................ 28
A. Kesimpulan............................................................................................ 28
B. Saran...................................................................................................... 30
Daftar
Pustaka......................................................................................................... 31
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sekolah yang diciptakan di abad ke-19 dan 20
didasari oleh asumsi bahwa potensi belajar memiliki akar genetik dan kultural,
bahwa guru relatif tidak memiliki
kekuasaan untuk berbuat apapun dalam kaitannya dengan kondisi ini, dan bahwa
masyarakat dapat menoleransi prestasi yang rendah pada sebagian siswa.
Namun pada dewasa ini, semua itu telah berubah.
Semua anak diharapkan bersekolah. Anak-anak dan kaum muda mengusung latar belakang
budaya, talenta, dn kebutuhan yang amat beragam ke sekolah. Hal ini berlaku
untuk keluarga miskin maupun kaya. Sekolah sekarang adalah milik semua anak,
dan potensi belajar setiap anak harus direalisasikan. Keanekaragaman di kelas
bukan lagi pertanyaan soal kebijakan, nilai-nilai, atau prefensi pribadi.
Keanekaragaman adalah fakta.
Menyadari keanekaragaman diantara siswa dan memahami
bagaimana siswa belajar adalah tantangan yang terpenting yang akan dihadapi
sebagai guru. Untungnya, saat ini ada teori-teori baru dan provokatif tentang
bagaimana siswa belajar dan dasar pengetahuan yang semakin luas tentang
keanekaragaman dan bagaimana guru dapat meniptakan kelas yang responsive secara
kultural, emua siswa dihormati dan semua siswa dapat belajar.
Pemahaman dan keterampilan yang dimiliki untuk
menangani kelas yang memiliki keanekaragaman, yaitu menelaah sifat kelas-kelas
masa kini, tantangan dan kesempatan yang disuguhkan oleh keanekaragaman, dan
kerangka kerja teoritis untuk memahami tantangan-tantangan ini. Bagian
selanjutnya, mendeskripsikan tentang siswa-siswa yang memiliki distabilitas
belajar dan juga tentang mereka yang memiliki bakat-bakat luar biasa. Bagian
selanjutnya mendeskripsikan berbagai macam perbedaan lain yang ditemukan di
kelas: perbedaan ras, etnik, budaya,
agama, bahasa, gender, dan kelas
social. Masing-masing bagian ini akan menyuguhkan pengetahuan ilmiah
terbaik tentang berbagai perbedaan yang
ada dan memberika pedoman untuk mengajari dan menangani beragam kelompok
siswa.
Hal yang sangat penting menegaskan bahwa guru tidak
mungkin mengatasi sendiri semua masalah yang ada dan bagaimana reformasi
tingkat sekolah dibutuhkan. Kategori-kategori yang digunakan untuk
mengorganisasikan bab ini adalah konstruksi-konstruksi social yang ditentukan
secara kultural.
Terakhir, penting untuk mempelajari bagaimana cara
menggunakan bahasa yang pantas ketika anda mendiskusikan entang keanekaragaman
dan ketika anda merujuk ke kelompok rasial tertent atau ke siswa-siswa dengan
kebutuhan khusus.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
cara pendidik menangani peserta didik yang termasuk kedalam kategori
disabilitas dan gifted?
2. Bagaimana
cara pendidik menangani peserta didik yang beragam secara kultural dan rasial
dengan efektif?
3. Bagaimana
cara pendidik menghadapi keberagaman bahasa di kelas?
4. Bagaimana
pendidik menangani perbedaan gender
di dalam kelas?
5. Bagaimana
cara menjelaskan perbedaan kelas sosial pada peserta didik?
6. Bagaimana
tindakan yang dilakukan oleh pendidik untuk memastikan kesuksesan peserta
didik?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui cara pendidik menangani peserta didik yang termasuk kedalam kategori
disabilitas dan gifted.
2. Untuk
mengetahui cara pendidik menangani peserta didik yang beragam secara kultural
dan rasial.
3. Untuk
mengetahui cara pendidik dalam menghadapi keberagaman bahasa di kelas.
4. Untuk
mengetahui cara pendidik dalam mengahadapi perbedaan gender di kelas.
5. Untuk
mengetahui kebutuhan dan strategi yang efektif untuk menangani perbedaan kelas
sosial.
6. Untuk
mengetahui tindakan yang tepat dalam memastikan kesuksesan peserta didik.
D.
Manfaat
Penulisan
1. Agar
mahasiswa calon pendidik mengetahui cara bagaimana mengahadapi keberagaman
peserta didik.
2. Agar
pembelajaran terlaksana dengan baik dan tepat sasaran.
3. Agar
pembaca mendapat informasi mengenai keberagaman peserta didik di kelas.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Dukungan
Teoritis dan Empiris
Nilai-nilai, perspektif filosofis, dan politik
memengaruhi praktik mengajar di kelas yang beragam, dan inilah masalah yang
perlu diperhatikan oleh para guru. Pada saat yang sama, para guru harus
memberikan perhatian pada dasar pengetahuan, yang mendiskripsikan tentang apa
yang sebenarnya terjadi pada anak-anak dengan kebutuhan khusus dan mereka yang
berasal dari beragam kebudayaan.
1. Ekuitas
Sekolah
yang memastikan ketersediaan kondisi yang tidak memihak, adil, pantas, dan sama
untuk seluruh siswa adalah sekolah yang memperlihatkan equitas (Arends, 2008, hlm.43).
Artinya, sekolah harus mampu menyediakan pelayanan yang baik kepada seluruh
peserta didik meskipun dengan berbagai latar belakang yang berbeda, sebagai
modal keberhasilan pendidikan.
Para
pendidik memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki
kesempatan yang sama unuk belajar. Di dunia yang multikultural dan beragam ini,
guru harus menciptakan suasana kelas yang inklusif dan memihak kepada semua
kalangan.
Para
guru harus mengkhawatirkan tentang masalah sosial yang terkait dengan ekuitas.
Keyakinan ini didukung oleh penelitian, yang secara konsisten menunjukan bahwa
pendidikan berhubungan dengan pendapatan dan berbagai pencapaian dalam hidup.
Isu-isu mengenai kesenjangan sosial ini seharusnya menjadi kepedulian utama
setiap warga negara. Pendidikan dapat memnuhi bagiannya dengan memastikan bahwa
setiap pemuda memiliki keyakinan yang
kuat bahwa pendidikan sebagai rute kesuksesan kehidupan mereka kelak baik
secara ekonomis, politis, maupun kultural.
2. Perlakuan
Diferensial terhadap Siswa
Salah satu body of research telah mendokumentasikan ketidaksetaraan/ketidakadilan
yang ada dalam pendidikan secara keseluruhan, yang lain telah mendokumentasikan
adanya perlakuan diferensial terhadap siswa oleh guru dalam kelas. Perlakuan
diferensial sebagian terjadi karena guru, sadar atau tidak sadar, memiliki
ekspektasi yang berbeda terhadap sebagian siswa dibanding siswa lainya (Arends,
2008, hlm.45).
Pada 1968 Robert Rosenthal dan Lenore
Jacobson mempublikasikan Pygmalion in the
Classroom. Buku ini mengintroduksikan konsep self fulfilling prophecy dan efek ekspektasi guru pada prestasi dan
self-esteem siswa. Dalam penelitian
mereka Rosenthal dan Jacobson memberikan informasi kepada para guru di sekolah
tentang beberapa siswa di kelas mereka. Mereka mengatakan kepada guru tersebut
bahwa beberapa siswa telah diidentifikasi sebagai “bloomers” atau orang yang berkembang melalui sebuah tes baru dan
bahwa mereka dapat berharap bhwa siswa-siswi tersebut akan meraih prestasi
tinggi selama tahun yang akan datang.
Guru mengekspektasikan
perilaku tertentu
|
Guru berperilaku berdasarkan
ekspektasinya
|
Perilaku siswa memperkuat
ekspektasi guru
|
Perilaku guru dikomuniksikan
kepada siswa
|
Siswa memenuhi ekspektasi
guru
|
Proses Sirkulasi
Ekspektasi Guru
Perilaku guru memengaruhi
siswa
|
3. Kemampuan,
Gaya, dan Preferensi Belajar
Perspektif ini tentang keanekaragaman
yang perlu dipertimbangkan guru kelas adalah perbedaan yang terlihat dalam
kemampuan siswa, talenta, dan gaya belajar. Bagaimana kemampuan dan pendekatan
belajar siswa sangat bervariasi, kemudian bagaimana memproses informasi dan
kognitif emosional.
a. Kemampuan
dan Inteligensi Pelajar
Salah satu langkah penting dalam
memahami siswa dan pembelajaran di kelas yang beragam adalah dengan memahami
perbedaan kemampuan belajar dan bagaiman kemampuan-kemampuan ini didefinikan
dan diukur.
1) Inteligensi
Umum. Teori-teori tradisional mengatakan bahwa individu memiliki kemampuan
mental seperti yang diukur oleh kinerjanya pada tugas kognitif tertentu,
misalnya menganilisis asosiasi kata, mengerjakan soal-soal matematika, dan
menyelesaikan teka-teki tertentu. Konsep intelligence
quotient (IQ), menurut Woolfolk (dalam Arends, 2008, hlm.48) ditambahkan setelah
tes Binet diperkenalkan ke Amerika Serikat. Sebuah skor IQ adalah komputasi
umur mental seseorang yang dibagi dengan umur kronologisnya dan dikalikan 100.
2) Multiple intelligence.
Selama lebih dari dua dekade terakhir, beberapa psikolog kontemporer, seperti
Howard Gardner (dalam
Arends, 2008, hlm.48)
dan Robert Sternberg
(dalam Arends, 2008, hlm.48) telah
menentang bahwa inteligensi umum atau tunggal. Sebaliknya, penelitian mereka
menunjukan bahwa inteligensi dan kemampuan jauh lebih banyak daripada sebuah
dimensi tunggal berpikir logis dan bahasa. Stenberg berpendapat bahwa ada tiga
tipe inteigensi, yakni analitis, kreatif, dan praktis. Inteligensi analitis
melibatkan proses-proses kognitif individu. Inteligensi kreatif adalah insights individu untuk menghadapi
berbagai pengalaman baru. Inteligensi praktis adalah kemampuan individu untuk
beradaptasi dan membentuk ulang lingkungannya.
Howard
Gardner seorang teoritisi kontemporer paling terkenal tentang inteligensi
sebagai sesuatu yang lebih dari sebuah kemampuan tunggal. Teori Gardner tentang
multiple inteligences menyebutkan
adanya delapan macam inteligensi yang terpisah: linguistic, logical mathematical, spatial, musical, bodily kinesthetic,
interpersonal, intrapersonal, dan
naturalist. Menurut Gardner, individu-individu berbeda kekuatannya di
inteligensi-inteligensi yang berbeda.
3) Emotional quotient.
Goleman (dalam Arends,
2008, hlm.49) EQ adalah kemampuan
untuk menengarai dan mengelola emosinya sendiri, untuk menengarai emosi orang
lain, dan untuk menangani hubungan. Hal yang penting tentang EQ bagi guru
adalah mengenali emosi sebagai sebuah kemampuan dan menyadari bahwa emosi dapat
dipengaruhi seperti halnya kemampuan-kemampuan lainnya. Mengajari siswa untuk
memiliki hubungan yang dekat dan mengelola emosi-emosi yang kuat seperti amarah
memberikan fokus bagi banyak pelajaran hubungan manusia.
4) Nature
atau nurture? Ada perdebatan yang
telah berlangsung selama bertahun-tahun tentang apakah inteligensi berasal dari
keturunan (nature) atau dari
lingkungan (nurture). Kebanyakan
psikologi masa kini mengambil jalan tengah dan melihat inteligensi sebagai
hasil keturunan maupun lingkungan. Keturunan menetapkan rentang kemampuan,
tetapi lingkungan sangat memengaruhi apa yang dilakukan orang dengannya.
4. Perbedaan
dalam Gaya Kognitif dan Gaya Belajar
Variasi gaya kognitif dan gaya belajar,
utama dalam hal bagaimana siswa mempersepsi dunianya dan bagaimana mereka
memproses dan melakukan refleksi
terhadap informasi. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan dalam otak, preferensi,
dan sebagian lainny oleh budaya.
a. Gaya
Kognitif. Sudah sejak lama para psikolog melihat bahwa orang berbeda-beda dalam
mempersepsi dan memproses informasi Wapner & Kemick (dalam Arends, 2008, hlm.48).
Sebagian individu field dependent,
mereka mempersepsi situasi secara keseluruhan dan mereka melihat gambar besar
di kebanyakan situasi yang bermasalah. Sebagian lain bersifa field independent, mereka cenderung
melihat bagian-bagian terpisah dari keseluruhan. Kemungkinan besar siswa-siswa
yang field independent akan
membutuhkan bantuan dalam melihat gambar besar dan mungkin lebih senang bekerja
sendirian, sementara siswa-siswa field
dependent lebih senang mengerjakan tugas-tugas jangka panjang dan berbasis
masalah.
b. Gaya
Belajar. Individu-individu juga mendekati belajar dengan cara yang berbeda.
Salah satu perbedaan gaya belajar yang penting disebut adalah in-context (di dalam konteks) dan out-of-context (di luar konteks). Apa
artinya belajar dalam konteks? Artinya, anak-anak memperoleh keterampilan dan
pengetahuan pada titik yang keterampilan dan pengetahuan itu dibutuhkan dalam
situasi kehidupan nyata. Belajar di luar konteks berarti bahwa pembelajaran itu
tidak berhubungan dengan kebutuhan rill dan segera. Kedua jenis mengajar dan
belajar tersebut sama pentingnya, dan keduanya dapat bekerja, tetapi anak-anak
terbiasa dengan belajar dalam konteks sering dibingungkan oleh pengajaran di
luar konteks yang sangat dominan di sekolah-sekolah.
c. Preferensi
Belajar. Terakhir, beberapa bukti menunjukan bahwa siswa memiliki preferensi
untuk jenis lingkungan dan modelitas belajar. Konseptualisasi preferensi
belajar yang sangat populer dikembangkan oleh Dunn (1978, 1987). Mereka
mengatakan bahwa siswa berbeda dalam hal preferensi lingkungan belajar (suara,
cahaya, pola pengaturan tempat duduk), banyaknya dukungan emosional yang
dibutuhkan, dan derajat struktur dan interaksi sebaya. Jelas penting bagi guru
untuk menyadari bahwa siswa-siswanya memiliki cara memproses informasi yang
berbeda-beda dan preferensi cara belajar yang berbeda pula.
B.
Eksepsionalitas atau Keluarbiasaan
Dewasa ini di
dalam kegiatan pembelajaran seorang pendidik diharuskan untuk melaksanakan
kegiatan pengajaran yang bersifat humanis artinya melaksanakan proses
pembelajaran yang adil dan dapat memahami karakteristik seluruh peserta didik
serta menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai yang akan mendorong
terciptanya kegiatan pembelajaran ideal. Seorang pendidik juga haruslah
memiliki kesiapan mental guna mempersiapkan diri dalam menghadapi berbagai
macam tantangan di dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, salah satu
tantangan yang sering kali dihadapi oleh seorang pendidik adalah keragaman dari
peserta didik. Salah satu bentuk keragaman peserta didik adalah Eksepsionalitas
atau keluarbiasaan, terdapat dua jenis kasus yang termasuk ke dalam kategori luarbiasa
ini diantaranya kasus disabilitas (siswa
berkebutuhan khusus) dan siswa gifted (siswa
berkemampuan luar biasa).
Siswa
disabilitas adalah siswa yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang harus
dipenuhi oleh pendidik agar mereka mendapatkan kesempatan yang sama dalam
pendidikan seperti siswa siswa lainnya, sedangkan siswa gifted adalah siswa yang memiliki kemampuan istimewa yang jauh di
atas kemampuan siswa pada umumnya. Dalam hal ini keterampilan pendidik
dibutuhkan untuk menangani kasus tersebut. Perbedaan kasus membutuhkan
perbedaan penanganan pula. Penanganan yang harus dilaksanakan oleh pendidik
untuk kasus disabilitas adalah dengan cara memberikan fasilitas pembeajaran
yang sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Selain itu pengadaan sekolah inklusi juga turut memberikan kontribusi dalam
memfasilitasi peserta didik disabilitas untuk tetap mendapatkan pendidikan yang
sama dengan peserta didik lainnya tanpa adanya diskriminasi.
Sekolah inklusi adalah sekolah yang memungkinkan
siswa disabilitas belajar di dalam kelas reguler, namun sekolah inklusi tetap
memberikan kriteria khusus peserta didik disabilitas yang dapat bergabung di
dalamnya yaitu siswa dengan disabilitas belajar ringan dan siswa yang memiliki
disabilitas perilaku atau emosional. Penanganan yang dilakukan yaitu berupa
penanganan khusus yang lebih intensif secara personal oleh pendidik maupun
tenaga bantuan lain. Selain itu, tekonologi pun mempunyai peran penting sebagai
sarana pembantu siswa disabilitas dalam melaksanakan proses belajar.
Sedangkan
penanganan yang dibutuhkan untuk peserta didik gifted adalah dengan cara
memahami bidang apa saja yang menjadi kelebihan siswa tersebut dan
membuat model pembelajaran yang relevan dengan kasus yang dihadapi, juga
memberikan pengayaan pembelajaran bagi mereka yang memiliki kecepatan dalam
belajar sehingga mereka dapat memanfaatkan kelebihan waktu yang mereka miliki
dan menjadikan mereka sebagai tutor sebaya yang akan membantu siswa lainnya
dalam membertajam pemahamannya tentang materi pembelajaran yang diberikan.
Meskipun kedua
kasus keragaman tersebut berbeda (disabilitas dan gifted) namun inti dari
penanganan masalah nya adalah sama yaitu dengan melakukan difersifikasi
terhadap kurikulum pembelajaran demi menciptakan suatu pembelajaran yang sesuai
dengan tujuan.
C. Budaya,
Etnis, Ras
1.
Perspektif
tentang Budaya, Etnis, dan Ras
Indonesia memiliki banyak berbagai kebudayaan,
bahasa, agama dan ras, dan memiliki perbedaan kelas-kelas sosial tertentu dan
perbedaan gender. Dalam suatu kelas disekolah memiliki peserta didik yang
berbeda kebudayaan, bahasa, agama dan ras.
Villegas (dalam Arends,
2008, hlm.48) Teori perbedaan kultural bahwa bahasa adalah
wahana untuk interaksi di sekolah, dan bila bahasa yang digunakan oleh sebuah
subkultur berbeda dengan bahasa arus-utama, maka para anggota subkultur itu
berada dalam posisi yang kurang diuntungkan. Villages menjelaskan: anak anak
yang penggunaan bahasanya di rumah berkorespondensi dengan apa yang diharapkan
di kelas memiliki keuntungan dalam proses belajar. Bagi mereka, pengalaman
sebelumnya di transfer ke kelas dan memfasilitasi performa akademik mereka.
Sebaliknya, anak-anak minoritas sering mengalami ketidaksinambungan dalam
penggunaan bahasa di rumah dan di sekolah. Mereka sering salah di mengerti ketika
menerapkan pengetahuan mereka sebelumnya dalam tugas-tugas di kelas.
2.
Menangani
siswa-siswa di kelas dengan Ras dan Budaya yang beragam
Peserta didik di
dalam kelas memiliki budaya yang beragam, sebagai pendidik baru yang khawatir
mengenai bagaimana cara menangani dan hal apa yang dapat dilakukan di kelas
agar dapat menangani peserta didik yang memiliki perbedaan budaya tersebut.
Pendidik harus memiliki strategi untuk mengembangkan serta merespons beragam
kebutuhan peserta didik, terlepas dari latar belakang budaya dan ras nya. Bagi
seorang pendidik yang baru mengajar, cara menangani peserta didik yaitu dengan
pengetahuan yang dimiliki pendidik dan sikap dari pendidik sendiri terhadap
peserta didik. Yang terpenting adalah pendidik harus memastikan bahwa kurikulum
yang digunakan adil dan relevan secara kultural, dan pendidik harus menggunakan
strategi mengajar yang efektif dan responsif secara kultural.
a.
Mengembangkan
pemahaman kultural dan kesadaran diri
Bagian pertama
strategi pendidik dalam menangani berbagai budaya yang beragam pada peserta
didik yaitu pendidik harus mengembangkan pengetahuannya dan pemahaman kultural
yang lebih luas dan kesadaran diri yang lebih tinggi. Pendidik meningkatkan
pengetahuan terhadap orang-orang yang berbeda dengan dirinya dan belajar
berbagai budaya yang ada di masyarakat dan mengalahkan persepsi mengenai bias
bias kebudayaan.
Cara mengenal
berbagai kebudayaan di masyarakat yaitu dengan menggali informasi melalui
internet, membaca buku dan artikel penelitian. Dengan mencari informasi
tersebut pendidik baru akan mengetahui bagaimana dalam menghadapi perbedaan
kebudayaan dengan dirinya.
b.
Menciptakan
kurikulum yang relevan secara kultural dan bersifat multikultural
Seorang pendidik
baru perlu kesiapan dalam membuat keputusan tentang kurikulum yang relevan secara kultural dan bersifat
multikultural. Secara umum, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai
kurikulum dan pendekatan pedagogis yang mengajarkan kepada siswa untuk
menghormati dan menghargai keanekaragam.
Pendekatan-pendekatan kurikulum yang
ditawarkan James banks (dalam Arends, 2008,
hlm.66)
Level 1
Pendekatan
Kontribusi
Fokusnya
adalah para pahlawan, hari besar nasional, dan elemen-elem budaya yang
diskrit.
|
Level
2
Pendekatan
Aditif
Berbagai isi,
konsep, tema, dan perspektif ditambahkan ke kurikulum tanpa mengubah
strukturnya.
|
Level
3
Pendekatan
Transformasi
Struktur
kurikulumnya diubah untuk memungkinkan siswa melihat berbagai konsep, isu,
kejadian, dan tema dari perspektif kelompok etnik dan budsaya beragam.
|
Level
4
Pendekatan
Tindakan Sosial
Siswa
mengambil keputusan tentang berbagai isu sosial dan mengambil tindakan
untuk membantu mengatasinya.
|
Gambar 2.2 Pendekatan-pendekatan Kurikulum
Pendekatan kontribusi, menurut banks berupa menggunakan pelajaran untuk
membahas tentang pahlawan-pahlawan yang dimiliki berbagai budaya, merayakan
hari besar yang dimilki berbagai budaya, dan memberikan penghargaan pada seni ,
musik, sastra, masakan khas, dan bahasa berbagai budaya. Sebagai contoh,
seorang guru sd memperkenalkan berbagai kebergaman kebudayaan yang ada di
Indonesia.
Pendekatan aditif, pendidik menyusun pelajaran atau unit-unit
sampingan tentang kelompok atau budaya tertentu atau membawa literatur atau
buku yang menunjukkan berbagai perspektif budaya yang berbeda. Pendekatan transformasi, pendidik
berusaha mentransformasi kan kurikulumnya dengan memasukkan serangkaian konsep
yang berhubungan dengan pluralisme kultural ke dalam pelajaran-pelajaran yang
sedang berlangsung. Dalam pendekatan ini peserta didik dilatih agar bisa
menghargai dan mengambil sikap positif terhadap orang lain dari kelompok
minoritas dikelas maupun diluar kelas.
Pendekatan tindakan sosial, pendidik tidak hanya mendorong peserta
didik dalam menelaah berbagai permasalahan yang terkait dengan keanekragaman
budaya, tetapi peserta didik didorong untuk memiliki keterampilan dalam
merancang proyek-proyek potensial untuk mengambil tindakan dan mempromosikan
keadilan sosial.
c.
Menggunakan
pedagogi yang relevan secara kultural
Inti penanganan
keanekaragaman kultural adalah kempampuan guru untuk mengaitkan antara dunia
siswa dan budayanya dengan dunia sekolah dan kelas. Kemampuan itu akan
memungkinkan guru untuk menemukan cara melekatkan budaya siswa ke setiap
pelajaran dan tindakan. Strategi yang digunakan seperti Learning to Teach yaitu dengan membentuk dasar untuk mengajar di
kelas yang beragam budayanya, dan cooperative learning yang telah terbukti
efektif dengan populasi siswa yang beragam dan dalam mengubah secara positif
sikap siswa yang beragam budayanya. Oleh karena itu, perhatian yang
diberikan disini adalah pada
strategi-strategi intruksional yang secara khusus diarahkan pada kelas yang
beragam kulturalnya.
d.
Mengaitkan
dengan pengetahuan sebelumnya
Guru dapat mendasarkan
diri pada pengetahuan siswa sebelumnya dan membantu mereka untuk mengaitkan
antara apa yang sudah mereka ketahui dan apa yang akan mereka pelajari. Hal ini
dilakukan untuk membantu siswa untuk melihat persamaan dan perbedaan diantara
berbagai budaya dan membantu siswa dalam mengembangkan kesadaran multukultural.
Agar dapat melakukannya secara efektif huru harus aktif mencari informasi
tentang pengetahuan siswa sebelumnya dan memahami budaya siswa-siswanya
sekaligus mengukur apa yang sudah dan belum diketahui oleh siswa.
e.
Menggunakan
pengelompokkan yang fleksibel
Mengelompokan
siswa ini dnegan maksud agar siswa banyak menyadarkan diri pada pengelompokan
yang heterogen dan meminimalkan pengelompokan berdasarkan kemampuan. Guru
seharusnya memastikan bahwa ada siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, rendah disetiap kelompok
belajar dan berusaha mencapai keseimbangan rasial dan etnik. Keanggotaan di
kelompok kemampuan seharusnya bersifat fleksibel, kelompok seharusnya berubah
bila siswa menunjukkan kemajuan dan ketika kebutuhan baru dan berbeda
diidentifikasi.
f.
Memberi
perhatian pada gaya belajar
Guru dapat
merancang kegiatan belajar yang sesuai dengan berbagai gaya belajar dalam
membuat gaya variasi dalam pengajarannya. Salah satu rutenya adalah memasukkan
modalitas visual, auditorik, taktil dan kistik kedalam pelajaran. Guru juga
dapat menerapkan struktur tugas dan reward yang kooperatif maupun
individualistic.
g.
Assigning
competence
Sebuah
pertimbangan terkait dalam perencanaan dan penyajian pelajaran adalah
mengapitalisasikan kemampuan yang sudah dimilki siswa. Hal ini sangat penting
bagi anak-anak yang berbeda secara kultural yang mungkin diberi status rendah
untuk alasan apapun. Guru dapat menggunakan teknik ini untuk menetapkan
kompetensi, guru pertama mengamati siswa dengan teliti selama mereka
mengerjakan berbagai tugas dan kemudia mengidentifikasi kemampuan khusus
masing-masing siswa, setelah itu guru secara khusus dan terbuka mengumumkan
hasil kompetensi siswa tertentu. Hal ini guna meningkatkan motivasi peserta
didik untuk berprestasi lebih baik lagi.
h.
Menerapkan
pengajaran strategi
Yaitu elemen
instruksional yang seharusnya menjadi bagian penting pengajaran. Karakteristik
yang membedakan pelajar yang baik dan
pelajar yang buruk adalah kemampuannya untuk menggunakan strategi belajar untuk
menyelesaikan berbagai masalah agar bisa belajar dengan sukses.
i.
Memberi
perhatian kepada motivasi
Motivasi menjadi
kepedulian utama yang dapat diubah yang menyangkut kemampuan siswa untuk
terlibat dan persisten dalam mengerjakan tugas-tugas belajar. Strategi yang
digunakan untuk meningkatkan motivasi untuk siswa berisiko, salah satunya
program HOTS dikembangkan untuk siswa SD di remedial pull-out programs (program
mengeluarkan siswa dari kelas regular untuk ditempatkan dikelas khusus selama
beberapa jam setiap hari untuk tujuan perbaikan. Program ini telah terbukti
efektif dalam membantu siswa untuk
meraih kesuksesan di sekolah dan menemukan tantangan dan interaksi yang jauh
lebih memotivasi daripada latihan dan praktik terus-menerus. Strategi kedua
yaitu program untuk siswa SMA hispanik yang difokuskan pada pengutamaan untuk
belajar di perguruan tinggi , sebagian melalui pembicaraan yang berorientasi
pada masa depan. Terakhir, community problem solving (mengatasi masalah
masyarakat) adalah strategi yang berbasis pada masalah yang terbukti efektif di
kelas-kelas yang beragam. Strategi ini digunakan guru untuk mendorong siswa
untuk mengidentifikasikan keprihatinan mereka tentang masyarakat atau
lingkungan tempat tinggalnya dan membantu mereka merencanakan dan melaksanakan
berbagai proyek independen.
3.
Keanekaragaman
religius
Kebijakan yang
lebih besar tentang peran agama di sekolah tertentu kiranya berada di luar
pengaruh seorang guru. Akan tetapi, guru dapat memainkan peran vital dalam
mengajarkan tentang agama dan memberikan teladan tentang sikap menghormati dan
toleransi terhadap berbagai macam keyakinan religious.
Guru mestinya
juga menerima ketidakhadiran siswa karena mengikkuti hari besar keagamaan
tertentu dan mencegah siswa ejekan oleh siswa yang memiliki keyakinan berbeda.
Mereka dapat mengajarkan dan mendiskusikan berbagai ide, keyakinan dan tradisi
berbagai agama selama hal itu dilakukan secara adil, dengan sikap hormat, jujur
secara intelektual.
D.
Keberagaman Bahasa
Keanekaragaman bahasa mereprentasikan salah satu
perubahan signifikan dalam demografis sekolah di Indonesia. hampir semua siswa
di Indonesia memiliki bahasanya sendiri yang berasal dari bahasa daerah, tidak
semua siswa yang bersekolah di sekolah yang sama memiliki bahasa daerah yang
sama. Oleh karena itu mereka harus mempelajari bahasa yang semua orang mengerti
dan paham yaitu Bahasa Indonesia yang merupakan Bahasa Nasional. Pendidik harus
mengenali bahasa itu sebagai salah satu faktor besar di sekolah dan
mengembangkan berbagai cara untuk menangani peserta didik yang berbicara dengan
berbagai macam dialek atau bahasa yang berbeda sebagai bahasa daerahnya.
Penting untuk ditekankan bahwa orang-orang yang
berbicra dengan dialek tertentu atau bahasa deerah bukan berarti mengunakan
bahasa yang “kampungan”, melainkan mereka masih dan ingin selalu mencintai dan
melestarikan bahasa derahnya masing-masing.
1. Cara
Menangani Keanekaragaman Bahasa Di Kelas
Sikap
seorang pendidik untuk menangani keanekaragama bahasa yang dimiliki para
peserta didiknya yaitu, dengan memaksimalkan input bahasa yang mudah dipahami
dan di merengerti, dengan itu akan membantu peserta didik menguasai bahasa
tersebut. sebagai contoh, sebuah universitas yang banyak di minati oleh
mahasiswa berbagai daerah, dan universitas tersebut berada di daerah jawa
barat. Namun banyak mahasiswa dari luar jawa barat, karena di universitas
tersebut mayoritas berasal dari jawa barat maka harus ada lebih banyak
interaksi antar mahasiswa asli jawa barat dan luar jawa barat. Hal itu akan
mempermudah mahasiswa menguasai bahasa tersebut. untuk mempermudah pembelajar
pendidim dapat di bantu dengan bahasa indonesia yang hampir semua mahasiswa
mengerti dan pahami seluruhnya.
E.
Perbedaan Gender
Isu bias gender telah menjadi masalah di
kelas-kelas di Amerika. Terutama pada anak perempuan bagaimana mereka
disosialisasikan, apakah ada perbedaan gender dalam kemampuan verbal dan
matematik, dan apakah perbedaan-perbedaan itu bersifat alamiah atau akibat
sosialisasi diferensial. Akan tetapi, ada juga keprihatinan tentang bagaimana
anak laki-laki tertinggal di bidang keterampilan verbal dan angka keikutsertaan
mereka di perguruan tinggi.
1. Sifat
Perbedaan Gender
Apa
perbedaan anak perempuan dan anak laki-laki? Kebanyakan studi tidak menemukan
perbedaan besar yang melekat pada anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal kemampuan
kognitif secara umum Halpern dan Lamay (dalam Arends, 2008, hlm.77). Akan tetapi,
Diane Halpern (dalam Arends, 2008, hlm.77) mengatakan bahwa memang ada beberapa
perbedaan. Anak perempuan menunjukan kinerja yang lebih baik di bidang seni
bahasa, pemahaman bacaaan, dan komunikasi tertulis dan lisan, sementara anak
laki-laki sedikit unggul di bidang matematika dan penalaran matematis. Sebagian
lainnya ada yang mengatakan bahwa perbedaan gender dalam kaitannya dengan
kognisi dan prestasi mungkin bersifat situsional.
Dalam
kepribadian dan fisik perbedaan tersebut lebih nyata dan konsisten. Laki-laki
tampak lebih asertif dan memiliki self-esteem
yang lebih tinggi dibanding perempuan, yang cenderung lebih terbuka dan
memercayai orang lain.
Fitur
|
Perbedaan/Persamaan
|
Implikasi untuk Pendidikan
|
Kemampuan Kognitif
|
Keduanya memiliki kemampuan kognitif yang hampir sama.
Anak perempuan lebih baik dalam tugas verbal; anak laki-laki lebih baik dalam
keterampilan visual-spasial
|
Mengharapkan keduanya untuk memiliki kemampuan kognitif
yang sama
|
Fisik
|
Sebelum peubertas keduanya memiliki kapabilitas yag
sama. Setelah pubertas, laki-laki unggul dalam hal tinggi badan dan kekuatan
otot.
|
Mengasumsikan keduanya memiliki potensi untuk
mengembangkan berbagai keterampilan fisik dan motorik, terutama seama di
sekolah dasar.
|
Motivasi
|
Anak perempuan pada umumnya lebih peduli tentang
prestasinya di sekolah mereka cenderung bekerja kerasa di berbagai tugas
tetapi kurang berani mengambil risiko. Anak laki-laki mengerahkan usaha lebih
besar di subjek-subjek yang “stereotipikal laki-laki” seperti matematika,
sains. mekanika
|
Mendorong keduanya unggu di semua subjek; menghindari
stereotipe
|
Self-Esteem
|
Anak laki-laki memiliki rasa percaya diri tentang
kemampuannya untuk mengendalkan dan mengatasi masalah; anak perempuan
cenderung melihat drinya lebih kompeten di hubungan interpersonal. Anak
laki-laki memiliki kecenderungan untuk menlai kinerjanya sendiri secara lebih
positif dibanding anak perempuan, meskipun kinerja aktual mereka sama.
|
Menunjukan kepada semua siswa bahwa mereka bisa
berhasil di bidang-bidang yang kontrastereotipikal
|
Aspirasi Karier
|
Anak perempuan cenderung meliat dirinya sendiri lebh college-bound daripada anak laki-laki.
Tetapi anak laki-lai memliki memiliki ekspetasi jangka panjang yang lebih
tinggi untuk dririnya sendiri, khususnya di bidang-bidang yang stereotipikal
maskulin. Anak perempuan cenderung memilih karier yang tidak akan mengganggu
peran mereka di masa depan sebagai pasangan atau orang tua
|
Memapari semua siswa dengan model-model laki-laki dan
perempuan yang sukses di semua bidang. Menunjukan orang-orang yang sukses
dalam karier sekaligus keluarga
|
Hubungan Interpersonal
|
Anak laki-laki cenderung menunjukan agresi fisik yang
lebih tinggi; anak perempuan cenderung lebih afiliatif dan lebih banyak
membentuk hubungan dekat. Anak perempuan lebih nyam dalam situasi yang
kompetitif dan kooperatif
|
Mengajari keduanya cara-cara berinteraksi yang kurang
agresif dan memberikan lingkungan yang kooperatif untuk mengakomodasi
kecenderungan afiliatif anak-anak perempuan
|
2. Asal
Muasal Perbedaan Gender
Asal
perbedaan gender yang pertama adalah nature
yaitu aspek biologis dan hormon yang mempengaruhi jenis permainan.
Perbedaan yang kedua ialah nurture perbedaan
ini terbentuk karena adanya proses belajar dari lingkungan dimana mereka
tinggal. Zambo dan Hess (dalam Arends, 2008, hlm.79) mengatakan bahwa beberapa
perbedaan gender mungkin sudah ada sejak lahir, tetapi perbedaan itu tidak
tetap dan dapat diubah melalui pengalaman
3. Stereotipe
Dan Perlakuan Diferensial
Semenjak
kecil anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan perlakuan yang berbeda dari
orang tua. Maka, laki-laki dan perempuan belajar dengan cara yang dipelajari
dirumah. Berbagai penelitian Sadker, Sadker, & Klein, 1991; Women on Words
and Images (1975) menemukan bahwa laki-laki lebih banyak digambarkan dalam
peran-peran aktif dan profesional, sementara perempuan lebih sering
diperlihatkan dalam peran-peran pasif dan mengurus rumah. Seperti halnya perlakuan
guru di kelas pada siswa anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki lebih
banyak mendapat perhatian dari guru karena dianggap akan sering menimbulkan
banyak masalah.
Bias
gender dan perlakuan diferensial terhadap anak perempuan masih menjadi masalah.
Akan tetapi, Eccles (1989) dan Ormrod (2000) melaporkan bahwa sekolah dan guru
semakin berusaha memberikan perlakuan yang sama kepada anak laki-laki dan anak
perempuan
4. Menangani
Perbedaan Gender Di Kelas
Berikut
beberapa cara menangani perbedaan gender di kelas:
a. Sadarilah
tentang keyakinan dan perilaku Anda sendiri.
b. Pantau
frekuensi dan sifat interaksi verbal Anda.
c. Pastikan bahwa bahasa dan materi kurikulum
Anda bebas-gender dan berimbang.
d. Berikut
tugas-tugas kelas kepada anak-anak dengan cara yang equitable (seimbang, adil, fair) dan temukan cara agar anak
laki-laki dan anak perempuan dapat bermain bersama dengan tenang dan aktif.
Tindakan infromal ini dapat memberikan model yang dapat diikuti siswa.
e. Dorong
siswa untuk reflektif terhadap hasil kerja dan sikapnya sendiri dan diskusikan
tentang stereotipe peran-jenis dengan siswa.
f. Tunjukan
sikap hormat kepada seluruh siswa dan tantang anak laki-laki dan anak perempuan
dengan cara yang baik.
F.
Perbedaan Kelas Sosial
Socio
Economic Status (SES) merupakan istilah yang
menunjukan perbedaan-perbedaan individu dalam kelas sosial di masyarakat barat.
Serta, menunjuk kepada perbedaan-perbedaan yang terkategorikan menjadi empat
kelas sosial-ekonomi yaitu: Upper class
(kelas atas), Middle class (kelas
menengah), Working clas (kelas
pekerja), dan Lower class (kelas
bawah/rendah). Beberapa karakteristik yang menentukan identifikasi kelas sosial
seseorang adalah pekerjaan, penghasilan, kekuasaan politis, pendidikan,
lingkungan tempat tinggal dan latar belakang keluarga. Akan tetapi, garis
batas-batas diantara SES-SES itu tidak selalu ditetapkan dengan jelas. Karena
SES terbilng relatif, seseorang bisa saja tinggi di salah satu karakteristik,
tetapi tidak begitu tinggi di karakteristik lainnya.
1. Karakteristik
dan Kinerja Siswa-Siswa dengan SES-rendah
Banyak
anak dari orang tua kelas pekerja dan hampir semua anak dari keluarga dengan
SES-rendah hidup dalam kemiskinan. Sebagian dibesarkan di keluarga dengan orang
tua tunggal dan oleh orang dewasa yang kurang memiliki pendidikan, profisiensi
bahasa, dan keterampilan kerja. Banyak anak-anak dengan SES-rendah yang juga
merupakan anak-anak dari wilayah tertinggal yang memungkinkan besar memiliki
pendidikan formal terbatas dan mungkin memiliki penguasaan bahasa nasional yang
terbatas. Umumnya anak-anak dengan SES-rendah datang ke sekolah tanpa sarapan,
mengenakan pakaian yang sudah tua, dan bertutur dengan bahasa yang berbeda
dengan yang digunakan di sekolah serta menunjukan prestasi yang lebih rendah
atau kesenjangan prestasi antara SES-rendah dengan SES-menengah. Anak-anak
dengan SES-rendah sering menerima kurikulum yang tidak setara, tracking dan interaksi diferensial
dengan guru di kelas. Mereka juga kurang banyak yang terdaftar di program
pendidikan persiapan kuliah di perguruan tinggi dan memiliki kemungkinan kecil
untuk kuliah di perguruan tinggi.
2. Perlakuan
diferensial terhadap Siswa-Siswa dengan SES-Rendah
Perilaku
diferensial menjadi salah satu penjelasan prestasi yang lebih rendah pada
siswa-siswa dengan SES-rendah. Biasanya guru menetapkan ekspektasi yang rendah
dan stereotipe atau menilai siswa secara subjektif atau apa yang nampak karena
pakaian yang mereka kenakan serta karena bahasa yang mereka gunakan. Seperti
dideskrifsikan sebelumnya, ekspektasi rendah guru terhadap siswa-siswanya akan
menghasilkan self-sesteem (harga diri) yang rendah pada anak-anak ini dan
ekspektasi yang rendah pula terhadap hasil kerjanya sendiri.
Masalah
paling serius bagi siswa dengan SES-rendah adalah pengelompokan berdasarkan
kemampuan dan tracking. Siswa-siswa
dengan SES-rendah secara tidak proporsional ditempatkan di kelompok-kelompok
berkemampuan rendah dan kelas-kelas
track-rendah yang kualitas pengajarannya lebih buruk dibanding kelompok-kelompok
yang lebih tinggi.
Penetapan
ekspektasi yang rendah seharusnya tidak dilakukan oleh seorang guru, karena
siswa SES-rendah akan merasa tidak di adili oleh gurunya, sedangkan seorang
guru merupakan fasilitator untuk setiap siswanya baik SES-rendah maupun
SES-menengah.
3. Menangani
Siswa-Siswa dengan SES-Rendah
Munculnya
perbedaan SES jelas akan mengakibatkan adanya diversitas atau keberagaman
diantara siswa-siswa, yang tentunya akan mengakibatkan kesenjangan pendidikan
bagi orang-orang yang tergolong pada SES-rendah dibandingkan dengan
SES-menengah. Sebagai seorang guru, seorang guru tentunya harus
bertanggungjawab atas kemajuan suatu pendidikan dengan memberikan layanan
pendidikan yang adil, tidak berlaku tidak adil kepada siswa yang memiliki
SES-rendah.
Oleh
karena itu, terdapat 6 cara untuk menangani siswa-siswa dengan SES-rendah
diantaranya:
a. Bangun
Kepercayaan dengan Siswa
Bangun
kepercayaan dengan Siswa yang mungkin merasa didiskriminasikan atau merasa
ditinggalkan perlu diketahui bahwa guru ada sebagai fasilitator mereka.
Luangkan waktu untuk berbicara dengan siswa secara individual untuk memahami
siswa atau mengunjungi keluarga dan pergi ke rumah siswa yang memiliki masalah,
dengan menunjukan kesediaan untuk dapat menerima siswa SES-rendah dan tidak
berekspektasi rendah dan steretipe atas kemampuan mereka.
b. Melibatkan
Siswa
Melibatkan
siswa merupakan hal yang sangat penting, dengan ini siswa SES-rendah akan
merasa sama dengan SES-menengah sehingga mampu mencegah adanya kesenjangan
diantara keduanya. Seorang guru pun bisa menambah pembelajaran dengan
membandingkan perbedaan tanpa menyudutkan pihak manapun sehingga terbangun
Motivasi bagi siswa SES-rendah untuk merubah keadaannya.
c. Membuat
sebuah Perayaan
Dengan
niat agar seluruh siswa dapat menerima teman-temannya satu sama lain, sebuah
perayaan dapat menjadi sebuah media pendekatan yang efektif bagi seluruh siswa
karena pada umumnya sebuah perayaan merupakan hal yang identik dengan
kegembiraan.
d. Melibatkan
Orang Tua
Orang
tua memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai situasi ekonomi mereka
cenderung memberi saran lebih baik kepada siswa sambil mengasuh anak secara
bersamaan. Jika siswa merasa malu dengan SES-rendah, orang tua bisa memotivasi
anak mereka agar tidak membiarkan faktor ini menunda anak dalam pergi ke
sekolah tapi untuk memotivasi mereka, mengetahui fakta sebenarnya bahwa dengan
pendidikan yang lebih tinggi, suatu hari nanti siswa tersebut bukan anak
malang. Terlepas dari masalah apa yang mungkin ada, orang tua akan selalu
memiliki kepentingan terbaik untuk anak mereka.
e. Mengenalkan
buku
Buku
merupakan pengetahuan tertulis yang dapat dibaca kapan saja, agar siswa
SES-rendah mampu mengimbangi anak-anak SES-menengah, seorang guru bisa
merekomendasikan berbagai buku kepada siswa sehingga siswa mampu mengejar
ketertinggalannya.
f. Membiasakan
Siswa Menulis
Guru
harus melihat proses pemikiran mereka dengan baik dan melihat bagaimana mereka
secara sadar memastikan bahwa kelas mereka adalah kelas yang merayakan
keragaman dan menyingkirkan diskriminasi dan bias. Adakah stereotip yang mempengaruhi
pemikiran guru terhadap kelompok atau siswa tertentu? Sulit untuk menghadapi
perspektif seperti ini. Maka, seorang guru harus belajar lebih banyak, dan
mulai membiasakan diri untuk menjauh dari gagasan yang telah terbentuk
sebelumnya untuk membantu siswa kita merasa diterima. Sementara kegiatan yang
disebutkan di atas adalah titik awal yang bagus untuk menetapkan landasan yang
kokoh atau kelas yang responsif.
G.
Beberapa Pemikiran Akhir dan Isu-Isu
Tingkat Sekolah
Semua masalah yang terkait dengan keanekaragaman
tidak dapat diatasi sendiri oleh guru. Sebaliknya, hal itu membutuhkan tindakan
tingkat sekolah untuk membuat sekolah yang lebih sensitif terhadap siswa-siswa
yang berasal dari beragam latar belakang dan dengan berbagai kebutuhan khusus.
Salah satu temuan yang paling konsisten dari penelitian adalah tracking
berdasarkan kemampuan atau retensi tidak mendulung prestasi. Praktik semacam
itu juga memiliki konsekuensi yang merugikan bagi siswa-siswa minoritas. Jadi,
langkah yang baik untuk memulai reformasi adalah dengan mengurangi atau
menghapus tracing. Banyak sekolah saat ini sedang mengembangkan kurikulum
interdisipliner, yang banyak menyadarkan diri pada pembelajaran kooperatif
untuk penerapan tes-tes standar, dan pengelompokan yang fleksibel (Kohn, 1996;
Oakes & Lipton, 2007).
Juga ada tingkat sekolah yang dapat mengambil untuk
menangani keadaan kehidupan siswa-siswa “beresiko” yang berat kemiskinan.
Kebanyakan sekolah menawarkan makanan siang gratis atau dengan harga lebih
murah untuk siswa, tetapi hanya sekitar 50 persen di antara sekolah-sekolahini
yang juga menawarkan sarapan gratis dengan harga lebih murah.
Program-program sekolah yang menargetkan
intervensi-dini juga membantu. Efektifitas salah satu program semacam itu-head
star (program pendidikan dan kesejahteraan di amerika serikat)- sudah terbukti.
Untuk setiap dolar yang diinvestasikan di Head Star, lebih banyak anak yang
terselamatkan dengan mengurangi kebutuhan mereka akan tindakan pendisiplinan dan
remediasi, tunjangan kesejahteraan, pengadilan kriminal.
Jalur penting lain yang dapat di tempuh untuk
memperbaiki hasil pendidikan siswan dengan SES rendah adalah keterlibatan
orangtua dan masyarakat. Bila orangtua dan anggota masyarakat lainnya dilibatkan
dalam kehidupan sekolah melalui berbagai program tutoring, program mentoring,
komite perbaikan sekolah, pendidikan untuk orang tua, site-based govermance,
atau kegiatan-kegiatan lainnya, maka siswa dapat mendapat manfaatnya (Epstein,
1995,2001;Epstein & Sandres, 2002; Nettles, 1991)
Hal yang paling mendasari semua rekomendasi di bab
ini adalah pentingnya guru untuk menghargai siswanya secara individual maupun
kolektif dan menantang mereka untuk mencapai
potensi tertingginya. Claude Steele (dalam Arends, 2008, hlm 85) menggarisbawahi tema-tema tentang nilai dan
tantangan ini dengan mengatakan, “Bila segala yang berarti dan penting bagi
siswa,siswa harus merasa dihargai oleh guru baik untuk potensi yang dimilikinya
maupun sebagai orang.” Bila apa pun yang terjadi di sekolah- kurikulum yang
dimaksudkan untuk diremediasi (perbaikan), atau pengajaran yang di maksudkan
sebagai pendagogi kemiskinan-mengurangi perasaan siswa bahwa dirinya adalah
orang yang dihargai, siswa yang cenderung tidak mengidentifikasi diri dengan
tujuan sekolah. Tantangan intelektual berjalan seriiring dengan sikat
menghargai. “Hubungan guru-siswa yang saling mengahargai tidak akan berjalan
tanpa tantangan, dan tantangan dari luar hubungan yang saling menghargai akan
ditentang”.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sangat
penting untuk menggunakan bahasa yang tepat ketika mendiskusikan tentang
keanekaragaman dan merujuk ke latar belakang dan kemampuan siswa. Ekuitas
mengacu pada penciptaan kondisi di sekolah yang tidak memihak dan sama bagi
semua orang. Perlakuan diferensial mengacu pada perbedaan pengalaman pendidikan
yang dialami mayoritas ras, kelas, budaya, dan gender; dan yang dialami
minoritas. Ekspektasi guru memngaruhi hubungan dengan siswa, apa yang mereka
pelajari, dan ekspektasi terhadap kemampuan mereka pelajari, dan ekspektasi
terhadap kemampuan mereka sendiri.
Pembelajar siswa
disabilitas di sekolah inklusi haruslah mendapatkan penanganan yang tepat dan
intensif dari pendidik , sehingga aspek-aspek kehidupan mereka dapat berkembang
dengan baik. Seorang pendidik
dituntut harus cerdas dalam menangani siswa disabilitas maka dari itu pendidik
harus memahami betul karakter siswa tersebut dan keterbatasan apa yang menjadi
hambatan siswa tersebut, untuk selanjutnya dapat membuat perencanaan
pembelajaran yang tepat, juga menetapkan metode dan media pembelajaran yang
sesuai dengan keadaan siswa tersebut. selain itu butuh dijalin kerja sama yang
baik antara orang tua siswa dan guru pembantu khusus agar bimbingan dapat
dilaksanakan dengan sebaik baiknya.
Sedangkan, penanganan
yang dibutuhkan bagi peseta didik gifted
adalah yang pertama pendidik harus mampu mengidentifikasi siapa saja siswa yang
tergolong gifted dengan mengenali
dari ciri ciri yang muncul pada setiap peserta didik, selanjutnya peserta didik
dapat menentukan strategi-strategi pembelajaran yang sesuai bagi peserta didik
gifted juga seorang pendidik dapat memberikam ekspektasi yang tinggi terhadap
mereka agar dapat memicu optimalitas pembelajaran mereka. Terlepas
dari perbedaan tersebut persamaan penanganan terhadap dua kasus tersebut adalah
dengan melakukan difersifikasi terhadap pembelajaran yang dilaksanakan
(memodifikasi pengajaran atau kurikulum untuk memenuhi kebutuhan siswa disabilitas
maupun gifted).
Di
dalam kelas seorang pendidik dihadapkan dengan berbagai kebudayaan dan ras dari
peserta didik, sehingga seorang pendidik harus memahami bagaimana cara dalam
menangani peserta didik ketika sedang didalam kelas. Seorang pendidik harus memahami
setiap karakter yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik yang beragam
baik dari segi budaya, etnis maupun ras.
Pendidik akan menemukan keanekaragaman
bahasa yang signifikan di kelas-kelas masa kini. Hal ini termasuk
keanekaragaman dalam dialek yang di ucapkan oleh peserta didik, baik dengan bahasa daerah ataupun dalam bahasa
Indonesia yaitu bahasa Nasional. Keanekaragaman bahasa harus dihormati dan penting
untuk ditekankan bahwa orang-orang yang berbicra dengan dialek tertentu atau
bahasa deerah bukan berarti mengunakan bahasa yang “kampungan”, melainkan
mereka masih dan ingin selalu mencintai dan melestarikan bahasa derahnya
masing-masing.
Meskipun pengajar didominasi oleh
perempuan, bias gender dan perlakuan diferensial terhadap anak perempuan masih
menjadi masalah disekolah. Sebagian besar studi menunjukan bahwa terdapat
beberapa perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki
lebih unggul dalam bidang penalaran matematis sedangkan anak perempuan lebih
baik di bidang seni bahasa, membaca dan komunikasi lisan maupun tulisan. Guru
berinteraksi dengan cara yang berbeda dengan anak laki-laki dan anak perempuan.
Mereka lebih banyak mengajukan pertanyaan, pujian, independensi kepada anak
laki-laki. Guru efektif menyadari kemungkinan bias gendernya sendiri,
menghormati dan menantang semua siswa dan memastikan bahwa materi bahasa dan
kurikulumnya bebas-gender dan seimbang.
Socio
Economic Status (SES) merupakan istilah yang
menunjukan perbedaan-perbedaan individu dalam kelas sosial di masyarakat barat.
Tingkatan SES terkategorikan menjadi empat tingkatan diantaranya: Upper class (kelas atas), Middle class (kelas menengah), Working clas (kelas pekerja), dan Lower class (kelas bawah/rendah).
Munculnya perbedaan SES jelas akan mengakibatkan adanya diversitas atau
keberagaman diantara siswa-siswa. Maka dari itu, seorang guru tentunya harus
mampu menangani kasus seperti ini, terdapat 6 upaya yang dapat dilakukan oleh
seorang guru dalam kasus ini diantaranya: Bangun Kepercayaan dengan Siswa, Melibatkan
Siswa, Membuat sebuah Perayaan, Melibatkan Orang Tua, Mengenalkan buku, dan Membiasakan
Siswa Menulis. Serta seorang guru harus membuang persfektif yang negatif terhadap siswa
SES-rendah sehingga tidak terjadi streotipe dan diskriminasi diantara
siswa-siswa yang berbeda.
B.
Saran
Semua masalah yang terkait dengan
keanekaragaman tidak dapat diatasi sendiri oleh guru. Sebaliknya, hal itu
membutuhkan tindakan tingkat sekolah untuk membuat sekolah yang lebih sensitif
terhadap siswa-siswa yang berasal dari beragam latar belakang dan dengan
berbagai kebutuhan khusus. pentingnya guru untuk menghargai siswanya secara
individual maupun kolektif dan menantang mereka untuk mencapai potensi tertingginya.
DAFTAR PUSTAKA
Arends,
R. I. (2008). Learning To Teach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Emily. (2016,
April 3). Education to the core. Retrieved July 7, 2017, from
http://educationtothecore.com/2016/04/ways-to-celebrate-diversity/
PEMBELAJARAN
SISWA DI KELAS YANG BERAGAM
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah
Belajar dan
Pembelajaran Ekonomi
Dosen pengampu Dr. Neti
Budiwati, M.Si
Disusun oleh:
Dhea Rizkiyanti 1600092
Eva Hadijah 1600152
Fera Fadlilah 1605873
Gheatifhal Salsabila 1601104
Hana Muldi Supyati 1602224
Humaira Saras 1600000
Ira Yulia Agustina 1602162
Nada Minel Safitri 1601884
Putri Liany 1607249
Reffi Kusmeilisa 1600797
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS
PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2017
KATA
PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “Pembelajaran Siswa di Kelas yang
Beragam” dengan tepat waktu.
Makalah ini
telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr. Neti Budiwati, M.Si, dosen mata kuliah
Belajar dan Pembelajaran Ekonomi yang telah memberikan bimbingan dalam
penyusunan. Dan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
kontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari
bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata
bahasanya. Oleh karena itu, dengan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Kami berharap
semoga maklah ini memberikan manfaat maupun inspirasi bagi pembaca. Akhir kata,
kami ucapkan terima kasih.
Bandung,
5 Juli 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar
Isi................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar
Belakang Masalah......................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah................................................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan..................................................................................... 2
D. Manfaat................................................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN........................................................................................ 4
A. Dukungan
Teoritis dan Empiris.............................................................. 4
B. Eksepsionalitas
atau Keluarbiasaan........................................................ 9
C. Budaya,
Etnik dan Ras.......................................................................... 10
D. Keberagaman
Bahasa............................................................................. 16
E. Perbedaan
Gender................................................................................. 17
F. Perbedaan
Kelas Sosial.......................................................................... 22
G. Beberapa
Pemikiran Akhir dan Isu-isu Tingkat Sekolah....................... 25
BAB
III PENUTUP................................................................................................ 28
A. Kesimpulan............................................................................................ 28
B. Saran...................................................................................................... 30
Daftar
Pustaka......................................................................................................... 31
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sekolah yang diciptakan di abad ke-19 dan 20
didasari oleh asumsi bahwa potensi belajar memiliki akar genetik dan kultural,
bahwa guru relatif tidak memiliki
kekuasaan untuk berbuat apapun dalam kaitannya dengan kondisi ini, dan bahwa
masyarakat dapat menoleransi prestasi yang rendah pada sebagian siswa.
Namun pada dewasa ini, semua itu telah berubah.
Semua anak diharapkan bersekolah. Anak-anak dan kaum muda mengusung latar belakang
budaya, talenta, dn kebutuhan yang amat beragam ke sekolah. Hal ini berlaku
untuk keluarga miskin maupun kaya. Sekolah sekarang adalah milik semua anak,
dan potensi belajar setiap anak harus direalisasikan. Keanekaragaman di kelas
bukan lagi pertanyaan soal kebijakan, nilai-nilai, atau prefensi pribadi.
Keanekaragaman adalah fakta.
Menyadari keanekaragaman diantara siswa dan memahami
bagaimana siswa belajar adalah tantangan yang terpenting yang akan dihadapi
sebagai guru. Untungnya, saat ini ada teori-teori baru dan provokatif tentang
bagaimana siswa belajar dan dasar pengetahuan yang semakin luas tentang
keanekaragaman dan bagaimana guru dapat meniptakan kelas yang responsive secara
kultural, emua siswa dihormati dan semua siswa dapat belajar.
Pemahaman dan keterampilan yang dimiliki untuk
menangani kelas yang memiliki keanekaragaman, yaitu menelaah sifat kelas-kelas
masa kini, tantangan dan kesempatan yang disuguhkan oleh keanekaragaman, dan
kerangka kerja teoritis untuk memahami tantangan-tantangan ini. Bagian
selanjutnya, mendeskripsikan tentang siswa-siswa yang memiliki distabilitas
belajar dan juga tentang mereka yang memiliki bakat-bakat luar biasa. Bagian
selanjutnya mendeskripsikan berbagai macam perbedaan lain yang ditemukan di
kelas: perbedaan ras, etnik, budaya,
agama, bahasa, gender, dan kelas
social. Masing-masing bagian ini akan menyuguhkan pengetahuan ilmiah
terbaik tentang berbagai perbedaan yang
ada dan memberika pedoman untuk mengajari dan menangani beragam kelompok
siswa.
Hal yang sangat penting menegaskan bahwa guru tidak
mungkin mengatasi sendiri semua masalah yang ada dan bagaimana reformasi
tingkat sekolah dibutuhkan. Kategori-kategori yang digunakan untuk
mengorganisasikan bab ini adalah konstruksi-konstruksi social yang ditentukan
secara kultural.
Terakhir, penting untuk mempelajari bagaimana cara
menggunakan bahasa yang pantas ketika anda mendiskusikan entang keanekaragaman
dan ketika anda merujuk ke kelompok rasial tertent atau ke siswa-siswa dengan
kebutuhan khusus.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
cara pendidik menangani peserta didik yang termasuk kedalam kategori
disabilitas dan gifted?
2. Bagaimana
cara pendidik menangani peserta didik yang beragam secara kultural dan rasial
dengan efektif?
3. Bagaimana
cara pendidik menghadapi keberagaman bahasa di kelas?
4. Bagaimana
pendidik menangani perbedaan gender
di dalam kelas?
5. Bagaimana
cara menjelaskan perbedaan kelas sosial pada peserta didik?
6. Bagaimana
tindakan yang dilakukan oleh pendidik untuk memastikan kesuksesan peserta
didik?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui cara pendidik menangani peserta didik yang termasuk kedalam kategori
disabilitas dan gifted.
2. Untuk
mengetahui cara pendidik menangani peserta didik yang beragam secara kultural
dan rasial.
3. Untuk
mengetahui cara pendidik dalam menghadapi keberagaman bahasa di kelas.
4. Untuk
mengetahui cara pendidik dalam mengahadapi perbedaan gender di kelas.
5. Untuk
mengetahui kebutuhan dan strategi yang efektif untuk menangani perbedaan kelas
sosial.
6. Untuk
mengetahui tindakan yang tepat dalam memastikan kesuksesan peserta didik.
D.
Manfaat
Penulisan
1. Agar
mahasiswa calon pendidik mengetahui cara bagaimana mengahadapi keberagaman
peserta didik.
2. Agar
pembelajaran terlaksana dengan baik dan tepat sasaran.
3. Agar
pembaca mendapat informasi mengenai keberagaman peserta didik di kelas.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Dukungan
Teoritis dan Empiris
Nilai-nilai, perspektif filosofis, dan politik
memengaruhi praktik mengajar di kelas yang beragam, dan inilah masalah yang
perlu diperhatikan oleh para guru. Pada saat yang sama, para guru harus
memberikan perhatian pada dasar pengetahuan, yang mendiskripsikan tentang apa
yang sebenarnya terjadi pada anak-anak dengan kebutuhan khusus dan mereka yang
berasal dari beragam kebudayaan.
1. Ekuitas
Sekolah
yang memastikan ketersediaan kondisi yang tidak memihak, adil, pantas, dan sama
untuk seluruh siswa adalah sekolah yang memperlihatkan equitas (Arends, 2008, hlm.43).
Artinya, sekolah harus mampu menyediakan pelayanan yang baik kepada seluruh
peserta didik meskipun dengan berbagai latar belakang yang berbeda, sebagai
modal keberhasilan pendidikan.
Para
pendidik memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki
kesempatan yang sama unuk belajar. Di dunia yang multikultural dan beragam ini,
guru harus menciptakan suasana kelas yang inklusif dan memihak kepada semua
kalangan.
Para
guru harus mengkhawatirkan tentang masalah sosial yang terkait dengan ekuitas.
Keyakinan ini didukung oleh penelitian, yang secara konsisten menunjukan bahwa
pendidikan berhubungan dengan pendapatan dan berbagai pencapaian dalam hidup.
Isu-isu mengenai kesenjangan sosial ini seharusnya menjadi kepedulian utama
setiap warga negara. Pendidikan dapat memnuhi bagiannya dengan memastikan bahwa
setiap pemuda memiliki keyakinan yang
kuat bahwa pendidikan sebagai rute kesuksesan kehidupan mereka kelak baik
secara ekonomis, politis, maupun kultural.
2. Perlakuan
Diferensial terhadap Siswa
Salah satu body of research telah mendokumentasikan ketidaksetaraan/ketidakadilan
yang ada dalam pendidikan secara keseluruhan, yang lain telah mendokumentasikan
adanya perlakuan diferensial terhadap siswa oleh guru dalam kelas. Perlakuan
diferensial sebagian terjadi karena guru, sadar atau tidak sadar, memiliki
ekspektasi yang berbeda terhadap sebagian siswa dibanding siswa lainya (Arends,
2008, hlm.45).
Pada 1968 Robert Rosenthal dan Lenore
Jacobson mempublikasikan Pygmalion in the
Classroom. Buku ini mengintroduksikan konsep self fulfilling prophecy dan efek ekspektasi guru pada prestasi dan
self-esteem siswa. Dalam penelitian
mereka Rosenthal dan Jacobson memberikan informasi kepada para guru di sekolah
tentang beberapa siswa di kelas mereka. Mereka mengatakan kepada guru tersebut
bahwa beberapa siswa telah diidentifikasi sebagai “bloomers” atau orang yang berkembang melalui sebuah tes baru dan
bahwa mereka dapat berharap bhwa siswa-siswi tersebut akan meraih prestasi
tinggi selama tahun yang akan datang.
Guru mengekspektasikan
perilaku tertentu
|
Guru berperilaku berdasarkan
ekspektasinya
|
Perilaku siswa memperkuat
ekspektasi guru
|
Perilaku guru dikomuniksikan
kepada siswa
|
Siswa memenuhi ekspektasi
guru
|
Proses Sirkulasi
Ekspektasi Guru
Perilaku guru memengaruhi
siswa
|
3. Kemampuan,
Gaya, dan Preferensi Belajar
Perspektif ini tentang keanekaragaman
yang perlu dipertimbangkan guru kelas adalah perbedaan yang terlihat dalam
kemampuan siswa, talenta, dan gaya belajar. Bagaimana kemampuan dan pendekatan
belajar siswa sangat bervariasi, kemudian bagaimana memproses informasi dan
kognitif emosional.
a. Kemampuan
dan Inteligensi Pelajar
Salah satu langkah penting dalam
memahami siswa dan pembelajaran di kelas yang beragam adalah dengan memahami
perbedaan kemampuan belajar dan bagaiman kemampuan-kemampuan ini didefinikan
dan diukur.
1) Inteligensi
Umum. Teori-teori tradisional mengatakan bahwa individu memiliki kemampuan
mental seperti yang diukur oleh kinerjanya pada tugas kognitif tertentu,
misalnya menganilisis asosiasi kata, mengerjakan soal-soal matematika, dan
menyelesaikan teka-teki tertentu. Konsep intelligence
quotient (IQ), menurut Woolfolk (dalam Arends, 2008, hlm.48) ditambahkan setelah
tes Binet diperkenalkan ke Amerika Serikat. Sebuah skor IQ adalah komputasi
umur mental seseorang yang dibagi dengan umur kronologisnya dan dikalikan 100.
2) Multiple intelligence.
Selama lebih dari dua dekade terakhir, beberapa psikolog kontemporer, seperti
Howard Gardner (dalam
Arends, 2008, hlm.48)
dan Robert Sternberg
(dalam Arends, 2008, hlm.48) telah
menentang bahwa inteligensi umum atau tunggal. Sebaliknya, penelitian mereka
menunjukan bahwa inteligensi dan kemampuan jauh lebih banyak daripada sebuah
dimensi tunggal berpikir logis dan bahasa. Stenberg berpendapat bahwa ada tiga
tipe inteigensi, yakni analitis, kreatif, dan praktis. Inteligensi analitis
melibatkan proses-proses kognitif individu. Inteligensi kreatif adalah insights individu untuk menghadapi
berbagai pengalaman baru. Inteligensi praktis adalah kemampuan individu untuk
beradaptasi dan membentuk ulang lingkungannya.
Howard
Gardner seorang teoritisi kontemporer paling terkenal tentang inteligensi
sebagai sesuatu yang lebih dari sebuah kemampuan tunggal. Teori Gardner tentang
multiple inteligences menyebutkan
adanya delapan macam inteligensi yang terpisah: linguistic, logical mathematical, spatial, musical, bodily kinesthetic,
interpersonal, intrapersonal, dan
naturalist. Menurut Gardner, individu-individu berbeda kekuatannya di
inteligensi-inteligensi yang berbeda.
3) Emotional quotient.
Goleman (dalam Arends,
2008, hlm.49) EQ adalah kemampuan
untuk menengarai dan mengelola emosinya sendiri, untuk menengarai emosi orang
lain, dan untuk menangani hubungan. Hal yang penting tentang EQ bagi guru
adalah mengenali emosi sebagai sebuah kemampuan dan menyadari bahwa emosi dapat
dipengaruhi seperti halnya kemampuan-kemampuan lainnya. Mengajari siswa untuk
memiliki hubungan yang dekat dan mengelola emosi-emosi yang kuat seperti amarah
memberikan fokus bagi banyak pelajaran hubungan manusia.
4) Nature
atau nurture? Ada perdebatan yang
telah berlangsung selama bertahun-tahun tentang apakah inteligensi berasal dari
keturunan (nature) atau dari
lingkungan (nurture). Kebanyakan
psikologi masa kini mengambil jalan tengah dan melihat inteligensi sebagai
hasil keturunan maupun lingkungan. Keturunan menetapkan rentang kemampuan,
tetapi lingkungan sangat memengaruhi apa yang dilakukan orang dengannya.
4. Perbedaan
dalam Gaya Kognitif dan Gaya Belajar
Variasi gaya kognitif dan gaya belajar,
utama dalam hal bagaimana siswa mempersepsi dunianya dan bagaimana mereka
memproses dan melakukan refleksi
terhadap informasi. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan dalam otak, preferensi,
dan sebagian lainny oleh budaya.
a. Gaya
Kognitif. Sudah sejak lama para psikolog melihat bahwa orang berbeda-beda dalam
mempersepsi dan memproses informasi Wapner & Kemick (dalam Arends, 2008, hlm.48).
Sebagian individu field dependent,
mereka mempersepsi situasi secara keseluruhan dan mereka melihat gambar besar
di kebanyakan situasi yang bermasalah. Sebagian lain bersifa field independent, mereka cenderung
melihat bagian-bagian terpisah dari keseluruhan. Kemungkinan besar siswa-siswa
yang field independent akan
membutuhkan bantuan dalam melihat gambar besar dan mungkin lebih senang bekerja
sendirian, sementara siswa-siswa field
dependent lebih senang mengerjakan tugas-tugas jangka panjang dan berbasis
masalah.
b. Gaya
Belajar. Individu-individu juga mendekati belajar dengan cara yang berbeda.
Salah satu perbedaan gaya belajar yang penting disebut adalah in-context (di dalam konteks) dan out-of-context (di luar konteks). Apa
artinya belajar dalam konteks? Artinya, anak-anak memperoleh keterampilan dan
pengetahuan pada titik yang keterampilan dan pengetahuan itu dibutuhkan dalam
situasi kehidupan nyata. Belajar di luar konteks berarti bahwa pembelajaran itu
tidak berhubungan dengan kebutuhan rill dan segera. Kedua jenis mengajar dan
belajar tersebut sama pentingnya, dan keduanya dapat bekerja, tetapi anak-anak
terbiasa dengan belajar dalam konteks sering dibingungkan oleh pengajaran di
luar konteks yang sangat dominan di sekolah-sekolah.
c. Preferensi
Belajar. Terakhir, beberapa bukti menunjukan bahwa siswa memiliki preferensi
untuk jenis lingkungan dan modelitas belajar. Konseptualisasi preferensi
belajar yang sangat populer dikembangkan oleh Dunn (1978, 1987). Mereka
mengatakan bahwa siswa berbeda dalam hal preferensi lingkungan belajar (suara,
cahaya, pola pengaturan tempat duduk), banyaknya dukungan emosional yang
dibutuhkan, dan derajat struktur dan interaksi sebaya. Jelas penting bagi guru
untuk menyadari bahwa siswa-siswanya memiliki cara memproses informasi yang
berbeda-beda dan preferensi cara belajar yang berbeda pula.
B.
Eksepsionalitas atau Keluarbiasaan
Dewasa ini di
dalam kegiatan pembelajaran seorang pendidik diharuskan untuk melaksanakan
kegiatan pengajaran yang bersifat humanis artinya melaksanakan proses
pembelajaran yang adil dan dapat memahami karakteristik seluruh peserta didik
serta menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai yang akan mendorong
terciptanya kegiatan pembelajaran ideal. Seorang pendidik juga haruslah
memiliki kesiapan mental guna mempersiapkan diri dalam menghadapi berbagai
macam tantangan di dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, salah satu
tantangan yang sering kali dihadapi oleh seorang pendidik adalah keragaman dari
peserta didik. Salah satu bentuk keragaman peserta didik adalah Eksepsionalitas
atau keluarbiasaan, terdapat dua jenis kasus yang termasuk ke dalam kategori luarbiasa
ini diantaranya kasus disabilitas (siswa
berkebutuhan khusus) dan siswa gifted (siswa
berkemampuan luar biasa).
Siswa
disabilitas adalah siswa yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang harus
dipenuhi oleh pendidik agar mereka mendapatkan kesempatan yang sama dalam
pendidikan seperti siswa siswa lainnya, sedangkan siswa gifted adalah siswa yang memiliki kemampuan istimewa yang jauh di
atas kemampuan siswa pada umumnya. Dalam hal ini keterampilan pendidik
dibutuhkan untuk menangani kasus tersebut. Perbedaan kasus membutuhkan
perbedaan penanganan pula. Penanganan yang harus dilaksanakan oleh pendidik
untuk kasus disabilitas adalah dengan cara memberikan fasilitas pembeajaran
yang sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Selain itu pengadaan sekolah inklusi juga turut memberikan kontribusi dalam
memfasilitasi peserta didik disabilitas untuk tetap mendapatkan pendidikan yang
sama dengan peserta didik lainnya tanpa adanya diskriminasi.
Sekolah inklusi adalah sekolah yang memungkinkan
siswa disabilitas belajar di dalam kelas reguler, namun sekolah inklusi tetap
memberikan kriteria khusus peserta didik disabilitas yang dapat bergabung di
dalamnya yaitu siswa dengan disabilitas belajar ringan dan siswa yang memiliki
disabilitas perilaku atau emosional. Penanganan yang dilakukan yaitu berupa
penanganan khusus yang lebih intensif secara personal oleh pendidik maupun
tenaga bantuan lain. Selain itu, tekonologi pun mempunyai peran penting sebagai
sarana pembantu siswa disabilitas dalam melaksanakan proses belajar.
Sedangkan
penanganan yang dibutuhkan untuk peserta didik gifted adalah dengan cara
memahami bidang apa saja yang menjadi kelebihan siswa tersebut dan
membuat model pembelajaran yang relevan dengan kasus yang dihadapi, juga
memberikan pengayaan pembelajaran bagi mereka yang memiliki kecepatan dalam
belajar sehingga mereka dapat memanfaatkan kelebihan waktu yang mereka miliki
dan menjadikan mereka sebagai tutor sebaya yang akan membantu siswa lainnya
dalam membertajam pemahamannya tentang materi pembelajaran yang diberikan.
Meskipun kedua
kasus keragaman tersebut berbeda (disabilitas dan gifted) namun inti dari
penanganan masalah nya adalah sama yaitu dengan melakukan difersifikasi
terhadap kurikulum pembelajaran demi menciptakan suatu pembelajaran yang sesuai
dengan tujuan.
C. Budaya,
Etnis, Ras
1.
Perspektif
tentang Budaya, Etnis, dan Ras
Indonesia memiliki banyak berbagai kebudayaan,
bahasa, agama dan ras, dan memiliki perbedaan kelas-kelas sosial tertentu dan
perbedaan gender. Dalam suatu kelas disekolah memiliki peserta didik yang
berbeda kebudayaan, bahasa, agama dan ras.
Villegas (dalam Arends,
2008, hlm.48) Teori perbedaan kultural bahwa bahasa adalah
wahana untuk interaksi di sekolah, dan bila bahasa yang digunakan oleh sebuah
subkultur berbeda dengan bahasa arus-utama, maka para anggota subkultur itu
berada dalam posisi yang kurang diuntungkan. Villages menjelaskan: anak anak
yang penggunaan bahasanya di rumah berkorespondensi dengan apa yang diharapkan
di kelas memiliki keuntungan dalam proses belajar. Bagi mereka, pengalaman
sebelumnya di transfer ke kelas dan memfasilitasi performa akademik mereka.
Sebaliknya, anak-anak minoritas sering mengalami ketidaksinambungan dalam
penggunaan bahasa di rumah dan di sekolah. Mereka sering salah di mengerti ketika
menerapkan pengetahuan mereka sebelumnya dalam tugas-tugas di kelas.
2.
Menangani
siswa-siswa di kelas dengan Ras dan Budaya yang beragam
Peserta didik di
dalam kelas memiliki budaya yang beragam, sebagai pendidik baru yang khawatir
mengenai bagaimana cara menangani dan hal apa yang dapat dilakukan di kelas
agar dapat menangani peserta didik yang memiliki perbedaan budaya tersebut.
Pendidik harus memiliki strategi untuk mengembangkan serta merespons beragam
kebutuhan peserta didik, terlepas dari latar belakang budaya dan ras nya. Bagi
seorang pendidik yang baru mengajar, cara menangani peserta didik yaitu dengan
pengetahuan yang dimiliki pendidik dan sikap dari pendidik sendiri terhadap
peserta didik. Yang terpenting adalah pendidik harus memastikan bahwa kurikulum
yang digunakan adil dan relevan secara kultural, dan pendidik harus menggunakan
strategi mengajar yang efektif dan responsif secara kultural.
a.
Mengembangkan
pemahaman kultural dan kesadaran diri
Bagian pertama
strategi pendidik dalam menangani berbagai budaya yang beragam pada peserta
didik yaitu pendidik harus mengembangkan pengetahuannya dan pemahaman kultural
yang lebih luas dan kesadaran diri yang lebih tinggi. Pendidik meningkatkan
pengetahuan terhadap orang-orang yang berbeda dengan dirinya dan belajar
berbagai budaya yang ada di masyarakat dan mengalahkan persepsi mengenai bias
bias kebudayaan.
Cara mengenal
berbagai kebudayaan di masyarakat yaitu dengan menggali informasi melalui
internet, membaca buku dan artikel penelitian. Dengan mencari informasi
tersebut pendidik baru akan mengetahui bagaimana dalam menghadapi perbedaan
kebudayaan dengan dirinya.
b.
Menciptakan
kurikulum yang relevan secara kultural dan bersifat multikultural
Seorang pendidik
baru perlu kesiapan dalam membuat keputusan tentang kurikulum yang relevan secara kultural dan bersifat
multikultural. Secara umum, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai
kurikulum dan pendekatan pedagogis yang mengajarkan kepada siswa untuk
menghormati dan menghargai keanekaragam.
Pendekatan-pendekatan kurikulum yang
ditawarkan James banks (dalam Arends, 2008,
hlm.66)
Level 1
Pendekatan
Kontribusi
Fokusnya
adalah para pahlawan, hari besar nasional, dan elemen-elem budaya yang
diskrit.
|
Level
2
Pendekatan
Aditif
Berbagai isi,
konsep, tema, dan perspektif ditambahkan ke kurikulum tanpa mengubah
strukturnya.
|
Level
3
Pendekatan
Transformasi
Struktur
kurikulumnya diubah untuk memungkinkan siswa melihat berbagai konsep, isu,
kejadian, dan tema dari perspektif kelompok etnik dan budsaya beragam.
|
Level
4
Pendekatan
Tindakan Sosial
Siswa
mengambil keputusan tentang berbagai isu sosial dan mengambil tindakan
untuk membantu mengatasinya.
|
Gambar 2.2 Pendekatan-pendekatan Kurikulum
Pendekatan kontribusi, menurut banks berupa menggunakan pelajaran untuk
membahas tentang pahlawan-pahlawan yang dimiliki berbagai budaya, merayakan
hari besar yang dimilki berbagai budaya, dan memberikan penghargaan pada seni ,
musik, sastra, masakan khas, dan bahasa berbagai budaya. Sebagai contoh,
seorang guru sd memperkenalkan berbagai kebergaman kebudayaan yang ada di
Indonesia.
Pendekatan aditif, pendidik menyusun pelajaran atau unit-unit
sampingan tentang kelompok atau budaya tertentu atau membawa literatur atau
buku yang menunjukkan berbagai perspektif budaya yang berbeda. Pendekatan transformasi, pendidik
berusaha mentransformasi kan kurikulumnya dengan memasukkan serangkaian konsep
yang berhubungan dengan pluralisme kultural ke dalam pelajaran-pelajaran yang
sedang berlangsung. Dalam pendekatan ini peserta didik dilatih agar bisa
menghargai dan mengambil sikap positif terhadap orang lain dari kelompok
minoritas dikelas maupun diluar kelas.
Pendekatan tindakan sosial, pendidik tidak hanya mendorong peserta
didik dalam menelaah berbagai permasalahan yang terkait dengan keanekragaman
budaya, tetapi peserta didik didorong untuk memiliki keterampilan dalam
merancang proyek-proyek potensial untuk mengambil tindakan dan mempromosikan
keadilan sosial.
c.
Menggunakan
pedagogi yang relevan secara kultural
Inti penanganan
keanekaragaman kultural adalah kempampuan guru untuk mengaitkan antara dunia
siswa dan budayanya dengan dunia sekolah dan kelas. Kemampuan itu akan
memungkinkan guru untuk menemukan cara melekatkan budaya siswa ke setiap
pelajaran dan tindakan. Strategi yang digunakan seperti Learning to Teach yaitu dengan membentuk dasar untuk mengajar di
kelas yang beragam budayanya, dan cooperative learning yang telah terbukti
efektif dengan populasi siswa yang beragam dan dalam mengubah secara positif
sikap siswa yang beragam budayanya. Oleh karena itu, perhatian yang
diberikan disini adalah pada
strategi-strategi intruksional yang secara khusus diarahkan pada kelas yang
beragam kulturalnya.
d.
Mengaitkan
dengan pengetahuan sebelumnya
Guru dapat mendasarkan
diri pada pengetahuan siswa sebelumnya dan membantu mereka untuk mengaitkan
antara apa yang sudah mereka ketahui dan apa yang akan mereka pelajari. Hal ini
dilakukan untuk membantu siswa untuk melihat persamaan dan perbedaan diantara
berbagai budaya dan membantu siswa dalam mengembangkan kesadaran multukultural.
Agar dapat melakukannya secara efektif huru harus aktif mencari informasi
tentang pengetahuan siswa sebelumnya dan memahami budaya siswa-siswanya
sekaligus mengukur apa yang sudah dan belum diketahui oleh siswa.
e.
Menggunakan
pengelompokkan yang fleksibel
Mengelompokan
siswa ini dnegan maksud agar siswa banyak menyadarkan diri pada pengelompokan
yang heterogen dan meminimalkan pengelompokan berdasarkan kemampuan. Guru
seharusnya memastikan bahwa ada siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, rendah disetiap kelompok
belajar dan berusaha mencapai keseimbangan rasial dan etnik. Keanggotaan di
kelompok kemampuan seharusnya bersifat fleksibel, kelompok seharusnya berubah
bila siswa menunjukkan kemajuan dan ketika kebutuhan baru dan berbeda
diidentifikasi.
f.
Memberi
perhatian pada gaya belajar
Guru dapat
merancang kegiatan belajar yang sesuai dengan berbagai gaya belajar dalam
membuat gaya variasi dalam pengajarannya. Salah satu rutenya adalah memasukkan
modalitas visual, auditorik, taktil dan kistik kedalam pelajaran. Guru juga
dapat menerapkan struktur tugas dan reward yang kooperatif maupun
individualistic.
g.
Assigning
competence
Sebuah
pertimbangan terkait dalam perencanaan dan penyajian pelajaran adalah
mengapitalisasikan kemampuan yang sudah dimilki siswa. Hal ini sangat penting
bagi anak-anak yang berbeda secara kultural yang mungkin diberi status rendah
untuk alasan apapun. Guru dapat menggunakan teknik ini untuk menetapkan
kompetensi, guru pertama mengamati siswa dengan teliti selama mereka
mengerjakan berbagai tugas dan kemudia mengidentifikasi kemampuan khusus
masing-masing siswa, setelah itu guru secara khusus dan terbuka mengumumkan
hasil kompetensi siswa tertentu. Hal ini guna meningkatkan motivasi peserta
didik untuk berprestasi lebih baik lagi.
h.
Menerapkan
pengajaran strategi
Yaitu elemen
instruksional yang seharusnya menjadi bagian penting pengajaran. Karakteristik
yang membedakan pelajar yang baik dan
pelajar yang buruk adalah kemampuannya untuk menggunakan strategi belajar untuk
menyelesaikan berbagai masalah agar bisa belajar dengan sukses.
i.
Memberi
perhatian kepada motivasi
Motivasi menjadi
kepedulian utama yang dapat diubah yang menyangkut kemampuan siswa untuk
terlibat dan persisten dalam mengerjakan tugas-tugas belajar. Strategi yang
digunakan untuk meningkatkan motivasi untuk siswa berisiko, salah satunya
program HOTS dikembangkan untuk siswa SD di remedial pull-out programs (program
mengeluarkan siswa dari kelas regular untuk ditempatkan dikelas khusus selama
beberapa jam setiap hari untuk tujuan perbaikan. Program ini telah terbukti
efektif dalam membantu siswa untuk
meraih kesuksesan di sekolah dan menemukan tantangan dan interaksi yang jauh
lebih memotivasi daripada latihan dan praktik terus-menerus. Strategi kedua
yaitu program untuk siswa SMA hispanik yang difokuskan pada pengutamaan untuk
belajar di perguruan tinggi , sebagian melalui pembicaraan yang berorientasi
pada masa depan. Terakhir, community problem solving (mengatasi masalah
masyarakat) adalah strategi yang berbasis pada masalah yang terbukti efektif di
kelas-kelas yang beragam. Strategi ini digunakan guru untuk mendorong siswa
untuk mengidentifikasikan keprihatinan mereka tentang masyarakat atau
lingkungan tempat tinggalnya dan membantu mereka merencanakan dan melaksanakan
berbagai proyek independen.
3.
Keanekaragaman
religius
Kebijakan yang
lebih besar tentang peran agama di sekolah tertentu kiranya berada di luar
pengaruh seorang guru. Akan tetapi, guru dapat memainkan peran vital dalam
mengajarkan tentang agama dan memberikan teladan tentang sikap menghormati dan
toleransi terhadap berbagai macam keyakinan religious.
Guru mestinya
juga menerima ketidakhadiran siswa karena mengikkuti hari besar keagamaan
tertentu dan mencegah siswa ejekan oleh siswa yang memiliki keyakinan berbeda.
Mereka dapat mengajarkan dan mendiskusikan berbagai ide, keyakinan dan tradisi
berbagai agama selama hal itu dilakukan secara adil, dengan sikap hormat, jujur
secara intelektual.
D.
Keberagaman Bahasa
Keanekaragaman bahasa mereprentasikan salah satu
perubahan signifikan dalam demografis sekolah di Indonesia. hampir semua siswa
di Indonesia memiliki bahasanya sendiri yang berasal dari bahasa daerah, tidak
semua siswa yang bersekolah di sekolah yang sama memiliki bahasa daerah yang
sama. Oleh karena itu mereka harus mempelajari bahasa yang semua orang mengerti
dan paham yaitu Bahasa Indonesia yang merupakan Bahasa Nasional. Pendidik harus
mengenali bahasa itu sebagai salah satu faktor besar di sekolah dan
mengembangkan berbagai cara untuk menangani peserta didik yang berbicara dengan
berbagai macam dialek atau bahasa yang berbeda sebagai bahasa daerahnya.
Penting untuk ditekankan bahwa orang-orang yang
berbicra dengan dialek tertentu atau bahasa deerah bukan berarti mengunakan
bahasa yang “kampungan”, melainkan mereka masih dan ingin selalu mencintai dan
melestarikan bahasa derahnya masing-masing.
1. Cara
Menangani Keanekaragaman Bahasa Di Kelas
Sikap
seorang pendidik untuk menangani keanekaragama bahasa yang dimiliki para
peserta didiknya yaitu, dengan memaksimalkan input bahasa yang mudah dipahami
dan di merengerti, dengan itu akan membantu peserta didik menguasai bahasa
tersebut. sebagai contoh, sebuah universitas yang banyak di minati oleh
mahasiswa berbagai daerah, dan universitas tersebut berada di daerah jawa
barat. Namun banyak mahasiswa dari luar jawa barat, karena di universitas
tersebut mayoritas berasal dari jawa barat maka harus ada lebih banyak
interaksi antar mahasiswa asli jawa barat dan luar jawa barat. Hal itu akan
mempermudah mahasiswa menguasai bahasa tersebut. untuk mempermudah pembelajar
pendidim dapat di bantu dengan bahasa indonesia yang hampir semua mahasiswa
mengerti dan pahami seluruhnya.
E.
Perbedaan Gender
Isu bias gender telah menjadi masalah di
kelas-kelas di Amerika. Terutama pada anak perempuan bagaimana mereka
disosialisasikan, apakah ada perbedaan gender dalam kemampuan verbal dan
matematik, dan apakah perbedaan-perbedaan itu bersifat alamiah atau akibat
sosialisasi diferensial. Akan tetapi, ada juga keprihatinan tentang bagaimana
anak laki-laki tertinggal di bidang keterampilan verbal dan angka keikutsertaan
mereka di perguruan tinggi.
1. Sifat
Perbedaan Gender
Apa
perbedaan anak perempuan dan anak laki-laki? Kebanyakan studi tidak menemukan
perbedaan besar yang melekat pada anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal kemampuan
kognitif secara umum Halpern dan Lamay (dalam Arends, 2008, hlm.77). Akan tetapi,
Diane Halpern (dalam Arends, 2008, hlm.77) mengatakan bahwa memang ada beberapa
perbedaan. Anak perempuan menunjukan kinerja yang lebih baik di bidang seni
bahasa, pemahaman bacaaan, dan komunikasi tertulis dan lisan, sementara anak
laki-laki sedikit unggul di bidang matematika dan penalaran matematis. Sebagian
lainnya ada yang mengatakan bahwa perbedaan gender dalam kaitannya dengan
kognisi dan prestasi mungkin bersifat situsional.
Dalam
kepribadian dan fisik perbedaan tersebut lebih nyata dan konsisten. Laki-laki
tampak lebih asertif dan memiliki self-esteem
yang lebih tinggi dibanding perempuan, yang cenderung lebih terbuka dan
memercayai orang lain.
Fitur
|
Perbedaan/Persamaan
|
Implikasi untuk Pendidikan
|
Kemampuan Kognitif
|
Keduanya memiliki kemampuan kognitif yang hampir sama.
Anak perempuan lebih baik dalam tugas verbal; anak laki-laki lebih baik dalam
keterampilan visual-spasial
|
Mengharapkan keduanya untuk memiliki kemampuan kognitif
yang sama
|
Fisik
|
Sebelum peubertas keduanya memiliki kapabilitas yag
sama. Setelah pubertas, laki-laki unggul dalam hal tinggi badan dan kekuatan
otot.
|
Mengasumsikan keduanya memiliki potensi untuk
mengembangkan berbagai keterampilan fisik dan motorik, terutama seama di
sekolah dasar.
|
Motivasi
|
Anak perempuan pada umumnya lebih peduli tentang
prestasinya di sekolah mereka cenderung bekerja kerasa di berbagai tugas
tetapi kurang berani mengambil risiko. Anak laki-laki mengerahkan usaha lebih
besar di subjek-subjek yang “stereotipikal laki-laki” seperti matematika,
sains. mekanika
|
Mendorong keduanya unggu di semua subjek; menghindari
stereotipe
|
Self-Esteem
|
Anak laki-laki memiliki rasa percaya diri tentang
kemampuannya untuk mengendalkan dan mengatasi masalah; anak perempuan
cenderung melihat drinya lebih kompeten di hubungan interpersonal. Anak
laki-laki memiliki kecenderungan untuk menlai kinerjanya sendiri secara lebih
positif dibanding anak perempuan, meskipun kinerja aktual mereka sama.
|
Menunjukan kepada semua siswa bahwa mereka bisa
berhasil di bidang-bidang yang kontrastereotipikal
|
Aspirasi Karier
|
Anak perempuan cenderung meliat dirinya sendiri lebh college-bound daripada anak laki-laki.
Tetapi anak laki-lai memliki memiliki ekspetasi jangka panjang yang lebih
tinggi untuk dririnya sendiri, khususnya di bidang-bidang yang stereotipikal
maskulin. Anak perempuan cenderung memilih karier yang tidak akan mengganggu
peran mereka di masa depan sebagai pasangan atau orang tua
|
Memapari semua siswa dengan model-model laki-laki dan
perempuan yang sukses di semua bidang. Menunjukan orang-orang yang sukses
dalam karier sekaligus keluarga
|
Hubungan Interpersonal
|
Anak laki-laki cenderung menunjukan agresi fisik yang
lebih tinggi; anak perempuan cenderung lebih afiliatif dan lebih banyak
membentuk hubungan dekat. Anak perempuan lebih nyam dalam situasi yang
kompetitif dan kooperatif
|
Mengajari keduanya cara-cara berinteraksi yang kurang
agresif dan memberikan lingkungan yang kooperatif untuk mengakomodasi
kecenderungan afiliatif anak-anak perempuan
|
2. Asal
Muasal Perbedaan Gender
Asal
perbedaan gender yang pertama adalah nature
yaitu aspek biologis dan hormon yang mempengaruhi jenis permainan.
Perbedaan yang kedua ialah nurture perbedaan
ini terbentuk karena adanya proses belajar dari lingkungan dimana mereka
tinggal. Zambo dan Hess (dalam Arends, 2008, hlm.79) mengatakan bahwa beberapa
perbedaan gender mungkin sudah ada sejak lahir, tetapi perbedaan itu tidak
tetap dan dapat diubah melalui pengalaman
3. Stereotipe
Dan Perlakuan Diferensial
Semenjak
kecil anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan perlakuan yang berbeda dari
orang tua. Maka, laki-laki dan perempuan belajar dengan cara yang dipelajari
dirumah. Berbagai penelitian Sadker, Sadker, & Klein, 1991; Women on Words
and Images (1975) menemukan bahwa laki-laki lebih banyak digambarkan dalam
peran-peran aktif dan profesional, sementara perempuan lebih sering
diperlihatkan dalam peran-peran pasif dan mengurus rumah. Seperti halnya perlakuan
guru di kelas pada siswa anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki lebih
banyak mendapat perhatian dari guru karena dianggap akan sering menimbulkan
banyak masalah.
Bias
gender dan perlakuan diferensial terhadap anak perempuan masih menjadi masalah.
Akan tetapi, Eccles (1989) dan Ormrod (2000) melaporkan bahwa sekolah dan guru
semakin berusaha memberikan perlakuan yang sama kepada anak laki-laki dan anak
perempuan
4. Menangani
Perbedaan Gender Di Kelas
Berikut
beberapa cara menangani perbedaan gender di kelas:
a. Sadarilah
tentang keyakinan dan perilaku Anda sendiri.
b. Pantau
frekuensi dan sifat interaksi verbal Anda.
c. Pastikan bahwa bahasa dan materi kurikulum
Anda bebas-gender dan berimbang.
d. Berikut
tugas-tugas kelas kepada anak-anak dengan cara yang equitable (seimbang, adil, fair) dan temukan cara agar anak
laki-laki dan anak perempuan dapat bermain bersama dengan tenang dan aktif.
Tindakan infromal ini dapat memberikan model yang dapat diikuti siswa.
e. Dorong
siswa untuk reflektif terhadap hasil kerja dan sikapnya sendiri dan diskusikan
tentang stereotipe peran-jenis dengan siswa.
f. Tunjukan
sikap hormat kepada seluruh siswa dan tantang anak laki-laki dan anak perempuan
dengan cara yang baik.
F.
Perbedaan Kelas Sosial
Socio
Economic Status (SES) merupakan istilah yang
menunjukan perbedaan-perbedaan individu dalam kelas sosial di masyarakat barat.
Serta, menunjuk kepada perbedaan-perbedaan yang terkategorikan menjadi empat
kelas sosial-ekonomi yaitu: Upper class
(kelas atas), Middle class (kelas
menengah), Working clas (kelas
pekerja), dan Lower class (kelas
bawah/rendah). Beberapa karakteristik yang menentukan identifikasi kelas sosial
seseorang adalah pekerjaan, penghasilan, kekuasaan politis, pendidikan,
lingkungan tempat tinggal dan latar belakang keluarga. Akan tetapi, garis
batas-batas diantara SES-SES itu tidak selalu ditetapkan dengan jelas. Karena
SES terbilng relatif, seseorang bisa saja tinggi di salah satu karakteristik,
tetapi tidak begitu tinggi di karakteristik lainnya.
1. Karakteristik
dan Kinerja Siswa-Siswa dengan SES-rendah
Banyak
anak dari orang tua kelas pekerja dan hampir semua anak dari keluarga dengan
SES-rendah hidup dalam kemiskinan. Sebagian dibesarkan di keluarga dengan orang
tua tunggal dan oleh orang dewasa yang kurang memiliki pendidikan, profisiensi
bahasa, dan keterampilan kerja. Banyak anak-anak dengan SES-rendah yang juga
merupakan anak-anak dari wilayah tertinggal yang memungkinkan besar memiliki
pendidikan formal terbatas dan mungkin memiliki penguasaan bahasa nasional yang
terbatas. Umumnya anak-anak dengan SES-rendah datang ke sekolah tanpa sarapan,
mengenakan pakaian yang sudah tua, dan bertutur dengan bahasa yang berbeda
dengan yang digunakan di sekolah serta menunjukan prestasi yang lebih rendah
atau kesenjangan prestasi antara SES-rendah dengan SES-menengah. Anak-anak
dengan SES-rendah sering menerima kurikulum yang tidak setara, tracking dan interaksi diferensial
dengan guru di kelas. Mereka juga kurang banyak yang terdaftar di program
pendidikan persiapan kuliah di perguruan tinggi dan memiliki kemungkinan kecil
untuk kuliah di perguruan tinggi.
2. Perlakuan
diferensial terhadap Siswa-Siswa dengan SES-Rendah
Perilaku
diferensial menjadi salah satu penjelasan prestasi yang lebih rendah pada
siswa-siswa dengan SES-rendah. Biasanya guru menetapkan ekspektasi yang rendah
dan stereotipe atau menilai siswa secara subjektif atau apa yang nampak karena
pakaian yang mereka kenakan serta karena bahasa yang mereka gunakan. Seperti
dideskrifsikan sebelumnya, ekspektasi rendah guru terhadap siswa-siswanya akan
menghasilkan self-sesteem (harga diri) yang rendah pada anak-anak ini dan
ekspektasi yang rendah pula terhadap hasil kerjanya sendiri.
Masalah
paling serius bagi siswa dengan SES-rendah adalah pengelompokan berdasarkan
kemampuan dan tracking. Siswa-siswa
dengan SES-rendah secara tidak proporsional ditempatkan di kelompok-kelompok
berkemampuan rendah dan kelas-kelas
track-rendah yang kualitas pengajarannya lebih buruk dibanding kelompok-kelompok
yang lebih tinggi.
Penetapan
ekspektasi yang rendah seharusnya tidak dilakukan oleh seorang guru, karena
siswa SES-rendah akan merasa tidak di adili oleh gurunya, sedangkan seorang
guru merupakan fasilitator untuk setiap siswanya baik SES-rendah maupun
SES-menengah.
3. Menangani
Siswa-Siswa dengan SES-Rendah
Munculnya
perbedaan SES jelas akan mengakibatkan adanya diversitas atau keberagaman
diantara siswa-siswa, yang tentunya akan mengakibatkan kesenjangan pendidikan
bagi orang-orang yang tergolong pada SES-rendah dibandingkan dengan
SES-menengah. Sebagai seorang guru, seorang guru tentunya harus
bertanggungjawab atas kemajuan suatu pendidikan dengan memberikan layanan
pendidikan yang adil, tidak berlaku tidak adil kepada siswa yang memiliki
SES-rendah.
Oleh
karena itu, terdapat 6 cara untuk menangani siswa-siswa dengan SES-rendah
diantaranya:
a. Bangun
Kepercayaan dengan Siswa
Bangun
kepercayaan dengan Siswa yang mungkin merasa didiskriminasikan atau merasa
ditinggalkan perlu diketahui bahwa guru ada sebagai fasilitator mereka.
Luangkan waktu untuk berbicara dengan siswa secara individual untuk memahami
siswa atau mengunjungi keluarga dan pergi ke rumah siswa yang memiliki masalah,
dengan menunjukan kesediaan untuk dapat menerima siswa SES-rendah dan tidak
berekspektasi rendah dan steretipe atas kemampuan mereka.
b. Melibatkan
Siswa
Melibatkan
siswa merupakan hal yang sangat penting, dengan ini siswa SES-rendah akan
merasa sama dengan SES-menengah sehingga mampu mencegah adanya kesenjangan
diantara keduanya. Seorang guru pun bisa menambah pembelajaran dengan
membandingkan perbedaan tanpa menyudutkan pihak manapun sehingga terbangun
Motivasi bagi siswa SES-rendah untuk merubah keadaannya.
c. Membuat
sebuah Perayaan
Dengan
niat agar seluruh siswa dapat menerima teman-temannya satu sama lain, sebuah
perayaan dapat menjadi sebuah media pendekatan yang efektif bagi seluruh siswa
karena pada umumnya sebuah perayaan merupakan hal yang identik dengan
kegembiraan.
d. Melibatkan
Orang Tua
Orang
tua memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai situasi ekonomi mereka
cenderung memberi saran lebih baik kepada siswa sambil mengasuh anak secara
bersamaan. Jika siswa merasa malu dengan SES-rendah, orang tua bisa memotivasi
anak mereka agar tidak membiarkan faktor ini menunda anak dalam pergi ke
sekolah tapi untuk memotivasi mereka, mengetahui fakta sebenarnya bahwa dengan
pendidikan yang lebih tinggi, suatu hari nanti siswa tersebut bukan anak
malang. Terlepas dari masalah apa yang mungkin ada, orang tua akan selalu
memiliki kepentingan terbaik untuk anak mereka.
e. Mengenalkan
buku
Buku
merupakan pengetahuan tertulis yang dapat dibaca kapan saja, agar siswa
SES-rendah mampu mengimbangi anak-anak SES-menengah, seorang guru bisa
merekomendasikan berbagai buku kepada siswa sehingga siswa mampu mengejar
ketertinggalannya.
f. Membiasakan
Siswa Menulis
Guru
harus melihat proses pemikiran mereka dengan baik dan melihat bagaimana mereka
secara sadar memastikan bahwa kelas mereka adalah kelas yang merayakan
keragaman dan menyingkirkan diskriminasi dan bias. Adakah stereotip yang mempengaruhi
pemikiran guru terhadap kelompok atau siswa tertentu? Sulit untuk menghadapi
perspektif seperti ini. Maka, seorang guru harus belajar lebih banyak, dan
mulai membiasakan diri untuk menjauh dari gagasan yang telah terbentuk
sebelumnya untuk membantu siswa kita merasa diterima. Sementara kegiatan yang
disebutkan di atas adalah titik awal yang bagus untuk menetapkan landasan yang
kokoh atau kelas yang responsif.
G.
Beberapa Pemikiran Akhir dan Isu-Isu
Tingkat Sekolah
Semua masalah yang terkait dengan keanekaragaman
tidak dapat diatasi sendiri oleh guru. Sebaliknya, hal itu membutuhkan tindakan
tingkat sekolah untuk membuat sekolah yang lebih sensitif terhadap siswa-siswa
yang berasal dari beragam latar belakang dan dengan berbagai kebutuhan khusus.
Salah satu temuan yang paling konsisten dari penelitian adalah tracking
berdasarkan kemampuan atau retensi tidak mendulung prestasi. Praktik semacam
itu juga memiliki konsekuensi yang merugikan bagi siswa-siswa minoritas. Jadi,
langkah yang baik untuk memulai reformasi adalah dengan mengurangi atau
menghapus tracing. Banyak sekolah saat ini sedang mengembangkan kurikulum
interdisipliner, yang banyak menyadarkan diri pada pembelajaran kooperatif
untuk penerapan tes-tes standar, dan pengelompokan yang fleksibel (Kohn, 1996;
Oakes & Lipton, 2007).
Juga ada tingkat sekolah yang dapat mengambil untuk
menangani keadaan kehidupan siswa-siswa “beresiko” yang berat kemiskinan.
Kebanyakan sekolah menawarkan makanan siang gratis atau dengan harga lebih
murah untuk siswa, tetapi hanya sekitar 50 persen di antara sekolah-sekolahini
yang juga menawarkan sarapan gratis dengan harga lebih murah.
Program-program sekolah yang menargetkan
intervensi-dini juga membantu. Efektifitas salah satu program semacam itu-head
star (program pendidikan dan kesejahteraan di amerika serikat)- sudah terbukti.
Untuk setiap dolar yang diinvestasikan di Head Star, lebih banyak anak yang
terselamatkan dengan mengurangi kebutuhan mereka akan tindakan pendisiplinan dan
remediasi, tunjangan kesejahteraan, pengadilan kriminal.
Jalur penting lain yang dapat di tempuh untuk
memperbaiki hasil pendidikan siswan dengan SES rendah adalah keterlibatan
orangtua dan masyarakat. Bila orangtua dan anggota masyarakat lainnya dilibatkan
dalam kehidupan sekolah melalui berbagai program tutoring, program mentoring,
komite perbaikan sekolah, pendidikan untuk orang tua, site-based govermance,
atau kegiatan-kegiatan lainnya, maka siswa dapat mendapat manfaatnya (Epstein,
1995,2001;Epstein & Sandres, 2002; Nettles, 1991)
Hal yang paling mendasari semua rekomendasi di bab
ini adalah pentingnya guru untuk menghargai siswanya secara individual maupun
kolektif dan menantang mereka untuk mencapai
potensi tertingginya. Claude Steele (dalam Arends, 2008, hlm 85) menggarisbawahi tema-tema tentang nilai dan
tantangan ini dengan mengatakan, “Bila segala yang berarti dan penting bagi
siswa,siswa harus merasa dihargai oleh guru baik untuk potensi yang dimilikinya
maupun sebagai orang.” Bila apa pun yang terjadi di sekolah- kurikulum yang
dimaksudkan untuk diremediasi (perbaikan), atau pengajaran yang di maksudkan
sebagai pendagogi kemiskinan-mengurangi perasaan siswa bahwa dirinya adalah
orang yang dihargai, siswa yang cenderung tidak mengidentifikasi diri dengan
tujuan sekolah. Tantangan intelektual berjalan seriiring dengan sikat
menghargai. “Hubungan guru-siswa yang saling mengahargai tidak akan berjalan
tanpa tantangan, dan tantangan dari luar hubungan yang saling menghargai akan
ditentang”.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sangat
penting untuk menggunakan bahasa yang tepat ketika mendiskusikan tentang
keanekaragaman dan merujuk ke latar belakang dan kemampuan siswa. Ekuitas
mengacu pada penciptaan kondisi di sekolah yang tidak memihak dan sama bagi
semua orang. Perlakuan diferensial mengacu pada perbedaan pengalaman pendidikan
yang dialami mayoritas ras, kelas, budaya, dan gender; dan yang dialami
minoritas. Ekspektasi guru memngaruhi hubungan dengan siswa, apa yang mereka
pelajari, dan ekspektasi terhadap kemampuan mereka pelajari, dan ekspektasi
terhadap kemampuan mereka sendiri.
Pembelajar siswa
disabilitas di sekolah inklusi haruslah mendapatkan penanganan yang tepat dan
intensif dari pendidik , sehingga aspek-aspek kehidupan mereka dapat berkembang
dengan baik. Seorang pendidik
dituntut harus cerdas dalam menangani siswa disabilitas maka dari itu pendidik
harus memahami betul karakter siswa tersebut dan keterbatasan apa yang menjadi
hambatan siswa tersebut, untuk selanjutnya dapat membuat perencanaan
pembelajaran yang tepat, juga menetapkan metode dan media pembelajaran yang
sesuai dengan keadaan siswa tersebut. selain itu butuh dijalin kerja sama yang
baik antara orang tua siswa dan guru pembantu khusus agar bimbingan dapat
dilaksanakan dengan sebaik baiknya.
Sedangkan, penanganan
yang dibutuhkan bagi peseta didik gifted
adalah yang pertama pendidik harus mampu mengidentifikasi siapa saja siswa yang
tergolong gifted dengan mengenali
dari ciri ciri yang muncul pada setiap peserta didik, selanjutnya peserta didik
dapat menentukan strategi-strategi pembelajaran yang sesuai bagi peserta didik
gifted juga seorang pendidik dapat memberikam ekspektasi yang tinggi terhadap
mereka agar dapat memicu optimalitas pembelajaran mereka. Terlepas
dari perbedaan tersebut persamaan penanganan terhadap dua kasus tersebut adalah
dengan melakukan difersifikasi terhadap pembelajaran yang dilaksanakan
(memodifikasi pengajaran atau kurikulum untuk memenuhi kebutuhan siswa disabilitas
maupun gifted).
Di
dalam kelas seorang pendidik dihadapkan dengan berbagai kebudayaan dan ras dari
peserta didik, sehingga seorang pendidik harus memahami bagaimana cara dalam
menangani peserta didik ketika sedang didalam kelas. Seorang pendidik harus memahami
setiap karakter yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik yang beragam
baik dari segi budaya, etnis maupun ras.
Pendidik akan menemukan keanekaragaman
bahasa yang signifikan di kelas-kelas masa kini. Hal ini termasuk
keanekaragaman dalam dialek yang di ucapkan oleh peserta didik, baik dengan bahasa daerah ataupun dalam bahasa
Indonesia yaitu bahasa Nasional. Keanekaragaman bahasa harus dihormati dan penting
untuk ditekankan bahwa orang-orang yang berbicra dengan dialek tertentu atau
bahasa deerah bukan berarti mengunakan bahasa yang “kampungan”, melainkan
mereka masih dan ingin selalu mencintai dan melestarikan bahasa derahnya
masing-masing.
Meskipun pengajar didominasi oleh
perempuan, bias gender dan perlakuan diferensial terhadap anak perempuan masih
menjadi masalah disekolah. Sebagian besar studi menunjukan bahwa terdapat
beberapa perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki
lebih unggul dalam bidang penalaran matematis sedangkan anak perempuan lebih
baik di bidang seni bahasa, membaca dan komunikasi lisan maupun tulisan. Guru
berinteraksi dengan cara yang berbeda dengan anak laki-laki dan anak perempuan.
Mereka lebih banyak mengajukan pertanyaan, pujian, independensi kepada anak
laki-laki. Guru efektif menyadari kemungkinan bias gendernya sendiri,
menghormati dan menantang semua siswa dan memastikan bahwa materi bahasa dan
kurikulumnya bebas-gender dan seimbang.
Socio
Economic Status (SES) merupakan istilah yang
menunjukan perbedaan-perbedaan individu dalam kelas sosial di masyarakat barat.
Tingkatan SES terkategorikan menjadi empat tingkatan diantaranya: Upper class (kelas atas), Middle class (kelas menengah), Working clas (kelas pekerja), dan Lower class (kelas bawah/rendah).
Munculnya perbedaan SES jelas akan mengakibatkan adanya diversitas atau
keberagaman diantara siswa-siswa. Maka dari itu, seorang guru tentunya harus
mampu menangani kasus seperti ini, terdapat 6 upaya yang dapat dilakukan oleh
seorang guru dalam kasus ini diantaranya: Bangun Kepercayaan dengan Siswa, Melibatkan
Siswa, Membuat sebuah Perayaan, Melibatkan Orang Tua, Mengenalkan buku, dan Membiasakan
Siswa Menulis. Serta seorang guru harus membuang persfektif yang negatif terhadap siswa
SES-rendah sehingga tidak terjadi streotipe dan diskriminasi diantara
siswa-siswa yang berbeda.
B.
Saran
Semua masalah yang terkait dengan
keanekaragaman tidak dapat diatasi sendiri oleh guru. Sebaliknya, hal itu
membutuhkan tindakan tingkat sekolah untuk membuat sekolah yang lebih sensitif
terhadap siswa-siswa yang berasal dari beragam latar belakang dan dengan
berbagai kebutuhan khusus. pentingnya guru untuk menghargai siswanya secara
individual maupun kolektif dan menantang mereka untuk mencapai potensi tertingginya.
DAFTAR PUSTAKA
Arends,
R. I. (2008). Learning To Teach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Emily. (2016,
April 3). Education to the core. Retrieved July 7, 2017, from
http://educationtothecore.com/2016/04/ways-to-celebrate-diversity/
Fire Emblem: Burning Titanium | titanium-arts.com
BalasHapusTamekatsu no Tetsuden no Tetsuden no Tetsuden No Tetsuden No Tetsuden No Tetsuden No Tetsuden No titanium lug nuts Tetsuden black oxide vs titanium drill bits No Tetsuden No Tetsuden titanium fidget spinner No Tetsuden No Tetsuden Rating: 2016 ford fusion energi titanium 5 silicone dab rig with titanium nail · 9 reviews