Rabu, 11 April 2018

PEMBELAJARAN SISWA DI KELAS YANG BERAGAM


PEMBELAJARAN SISWA DI KELAS YANG BERAGAM

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Belajar dan Pembelajaran Ekonomi
Dosen pengampu Dr. Neti Budiwati, M.Si








Disusun oleh:
Dhea Rizkiyanti                      1600092
Eva Hadijah                            1600152
Fera Fadlilah                           1605873
Gheatifhal Salsabila                1601104
Hana Muldi Supyati                1602224
Humaira Saras                         1600000
Ira Yulia Agustina                  1602162
Nada Minel Safitri                  1601884
Putri Liany                              1607249
Reffi Kusmeilisa                     1600797



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2017


KATA PENGANTAR

            Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Pembelajaran Siswa di Kelas yang Beragam” dengan tepat waktu.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada Ibu      Dr. Neti Budiwati, M.Si, dosen mata kuliah Belajar dan Pembelajaran Ekonomi yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan. Dan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Kami berharap semoga maklah ini memberikan manfaat maupun inspirasi bagi pembaca. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih.



Bandung, 5 Juli 2017


Penyusun


             DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.    Latar Belakang Masalah......................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan..................................................................................... 2
D.    Manfaat................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 4
A.    Dukungan Teoritis dan Empiris.............................................................. 4
B.     Eksepsionalitas atau Keluarbiasaan........................................................ 9
C.     Budaya, Etnik dan Ras.......................................................................... 10
D.    Keberagaman Bahasa............................................................................. 16
E.     Perbedaan Gender................................................................................. 17
F.      Perbedaan Kelas Sosial.......................................................................... 22
G.    Beberapa Pemikiran Akhir dan Isu-isu Tingkat Sekolah....................... 25
BAB III PENUTUP................................................................................................ 28
A.    Kesimpulan............................................................................................ 28
B.     Saran...................................................................................................... 30
Daftar Pustaka......................................................................................................... 31


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sekolah yang diciptakan di abad ke-19 dan 20 didasari oleh asumsi bahwa potensi belajar memiliki akar genetik dan kultural, bahwa guru relatif  tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat apapun dalam kaitannya dengan kondisi ini, dan bahwa masyarakat dapat menoleransi prestasi yang rendah pada sebagian siswa.
Namun pada dewasa ini, semua itu telah berubah. Semua anak diharapkan bersekolah. Anak-anak dan kaum muda mengusung latar belakang budaya, talenta, dn kebutuhan yang amat beragam ke sekolah. Hal ini berlaku untuk keluarga miskin maupun kaya. Sekolah sekarang adalah milik semua anak, dan potensi belajar setiap anak harus direalisasikan. Keanekaragaman di kelas bukan lagi pertanyaan soal kebijakan, nilai-nilai, atau prefensi pribadi. Keanekaragaman adalah fakta.
Menyadari keanekaragaman diantara siswa dan memahami bagaimana siswa belajar adalah tantangan yang terpenting yang akan dihadapi sebagai guru. Untungnya, saat ini ada teori-teori baru dan provokatif tentang bagaimana siswa belajar dan dasar pengetahuan yang semakin luas tentang keanekaragaman dan bagaimana guru dapat meniptakan kelas yang responsive secara kultural, emua siswa dihormati dan semua siswa dapat belajar.
Pemahaman dan keterampilan yang dimiliki untuk menangani kelas yang memiliki keanekaragaman, yaitu menelaah sifat kelas-kelas masa kini, tantangan dan kesempatan yang disuguhkan oleh keanekaragaman, dan kerangka kerja teoritis untuk memahami tantangan-tantangan ini. Bagian selanjutnya, mendeskripsikan tentang siswa-siswa yang memiliki distabilitas belajar dan juga tentang mereka yang memiliki bakat-bakat luar biasa. Bagian selanjutnya mendeskripsikan berbagai macam perbedaan lain yang ditemukan di kelas: perbedaan ras, etnik, budaya, agama, bahasa, gender, dan kelas social. Masing-masing bagian ini akan menyuguhkan pengetahuan ilmiah terbaik tentang berbagai perbedaan yang  ada dan memberika pedoman untuk mengajari dan menangani beragam kelompok siswa.
Hal yang sangat penting menegaskan bahwa guru tidak mungkin mengatasi sendiri semua masalah yang ada dan bagaimana reformasi tingkat sekolah dibutuhkan. Kategori-kategori yang digunakan untuk mengorganisasikan bab ini adalah konstruksi-konstruksi social yang ditentukan secara kultural.
Terakhir, penting untuk mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa yang pantas ketika anda mendiskusikan entang keanekaragaman dan ketika anda merujuk ke kelompok rasial tertent atau ke siswa-siswa dengan kebutuhan khusus.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara pendidik menangani peserta didik yang termasuk kedalam kategori disabilitas dan gifted?
2.      Bagaimana cara pendidik menangani peserta didik yang beragam secara kultural dan rasial dengan efektif?
3.      Bagaimana cara pendidik menghadapi keberagaman bahasa di kelas?
4.      Bagaimana pendidik menangani perbedaan gender di dalam kelas?
5.      Bagaimana cara menjelaskan perbedaan kelas sosial pada peserta didik?
6.      Bagaimana tindakan yang dilakukan oleh pendidik untuk memastikan kesuksesan peserta didik?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui cara pendidik menangani peserta didik yang termasuk kedalam kategori disabilitas dan gifted.
2.      Untuk mengetahui cara pendidik menangani peserta didik yang beragam secara kultural dan rasial.
3.      Untuk mengetahui cara pendidik dalam menghadapi keberagaman bahasa di kelas.
4.      Untuk mengetahui cara pendidik dalam mengahadapi perbedaan gender di kelas.
5.      Untuk mengetahui kebutuhan dan strategi yang efektif untuk menangani perbedaan kelas sosial.
6.      Untuk mengetahui tindakan yang tepat dalam memastikan kesuksesan peserta didik.

D.    Manfaat Penulisan
1.      Agar mahasiswa calon pendidik mengetahui cara bagaimana mengahadapi keberagaman peserta didik.
2.      Agar pembelajaran terlaksana dengan baik dan tepat sasaran.
3.      Agar pembaca mendapat informasi mengenai keberagaman peserta didik di kelas.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dukungan Teoritis dan Empiris
Nilai-nilai, perspektif filosofis, dan politik memengaruhi praktik mengajar di kelas yang beragam, dan inilah masalah yang perlu diperhatikan oleh para guru. Pada saat yang sama, para guru harus memberikan perhatian pada dasar pengetahuan, yang mendiskripsikan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada anak-anak dengan kebutuhan khusus dan mereka yang berasal dari beragam kebudayaan.
1.      Ekuitas
Sekolah yang memastikan ketersediaan kondisi yang tidak memihak, adil, pantas, dan sama untuk seluruh siswa adalah sekolah yang memperlihatkan equitas (Arends, 2008, hlm.43). Artinya, sekolah harus mampu menyediakan pelayanan yang baik kepada seluruh peserta didik meskipun dengan berbagai latar belakang yang berbeda, sebagai modal keberhasilan pendidikan.
Para pendidik memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama unuk belajar. Di dunia yang multikultural dan beragam ini, guru harus menciptakan suasana kelas yang inklusif dan memihak kepada semua kalangan.
Para guru harus mengkhawatirkan tentang masalah sosial yang terkait dengan ekuitas. Keyakinan ini didukung oleh penelitian, yang secara konsisten menunjukan bahwa pendidikan berhubungan dengan pendapatan dan berbagai pencapaian dalam hidup. Isu-isu mengenai kesenjangan sosial ini seharusnya menjadi kepedulian utama setiap warga negara. Pendidikan dapat memnuhi bagiannya dengan memastikan bahwa setiap pemuda memiliki keyakinan  yang kuat bahwa pendidikan sebagai rute kesuksesan kehidupan mereka kelak baik secara ekonomis, politis, maupun kultural.


2.      Perlakuan Diferensial terhadap Siswa
Salah satu body of research telah mendokumentasikan ketidaksetaraan/ketidakadilan yang ada dalam pendidikan secara keseluruhan, yang lain telah mendokumentasikan adanya perlakuan diferensial terhadap siswa oleh guru dalam kelas. Perlakuan diferensial sebagian terjadi karena guru, sadar atau tidak sadar, memiliki ekspektasi yang berbeda terhadap sebagian siswa dibanding siswa lainya (Arends, 2008, hlm.45).
Pada 1968 Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson mempublikasikan Pygmalion in the Classroom. Buku ini mengintroduksikan konsep self fulfilling prophecy dan efek ekspektasi guru pada prestasi dan self-esteem siswa. Dalam penelitian mereka Rosenthal dan Jacobson memberikan informasi kepada para guru di sekolah tentang beberapa siswa di kelas mereka. Mereka mengatakan kepada guru tersebut bahwa beberapa siswa telah diidentifikasi sebagai “bloomers” atau orang yang berkembang melalui sebuah tes baru dan bahwa mereka dapat berharap bhwa siswa-siswi tersebut akan meraih prestasi tinggi selama tahun yang akan datang.

Guru mengekspektasikan perilaku tertentu
Pada kenyataannya siswa-siswi itu sebenarnya diidentifikasi secara acak tidak ada informasi tes khusus. Akan tetapi, ketika tahun berjalan, siswa yang diidentifikasi sebagai “bloomers” meraih prestasi yang signifikan. Hal ini karena adanya perlakuan diferesnsial guru sebagai akibat ekspektasi mereka, tindakan mengikuti berdasarkan persepsi tersebut membuat ekspektasi itu, benar-benar terwujud.


Guru berperilaku berdasarkan ekspektasinya

Perilaku siswa memperkuat ekspektasi guru



Perilaku guru dikomuniksikan kepada siswa

Siswa memenuhi ekspektasi guru
Gambar 2.1
Proses Sirkulasi Ekspektasi Guru

Perilaku guru memengaruhi siswa

3.      Kemampuan, Gaya, dan Preferensi Belajar
Perspektif ini tentang keanekaragaman yang perlu dipertimbangkan guru kelas adalah perbedaan yang terlihat dalam kemampuan siswa, talenta, dan gaya belajar. Bagaimana kemampuan dan pendekatan belajar siswa sangat bervariasi, kemudian bagaimana memproses informasi dan kognitif emosional.
a.       Kemampuan dan Inteligensi Pelajar
Salah satu langkah penting dalam memahami siswa dan pembelajaran di kelas yang beragam adalah dengan memahami perbedaan kemampuan belajar dan bagaiman kemampuan-kemampuan ini didefinikan dan diukur.
1)      Inteligensi Umum. Teori-teori tradisional mengatakan bahwa individu memiliki kemampuan mental seperti yang diukur oleh kinerjanya pada tugas kognitif tertentu, misalnya menganilisis asosiasi kata, mengerjakan soal-soal matematika, dan menyelesaikan teka-teki tertentu. Konsep intelligence quotient (IQ), menurut Woolfolk (dalam Arends, 2008, hlm.48) ditambahkan setelah tes Binet diperkenalkan ke Amerika Serikat. Sebuah skor IQ adalah komputasi umur mental seseorang yang dibagi dengan umur kronologisnya dan dikalikan 100.
2)      Multiple intelligence. Selama lebih dari dua dekade terakhir, beberapa psikolog kontemporer, seperti Howard Gardner (dalam Arends, 2008, hlm.48)  dan Robert Sternberg (dalam Arends, 2008, hlm.48) telah menentang bahwa inteligensi umum atau tunggal. Sebaliknya, penelitian mereka menunjukan bahwa inteligensi dan kemampuan jauh lebih banyak daripada sebuah dimensi tunggal berpikir logis dan bahasa. Stenberg berpendapat bahwa ada tiga tipe inteigensi, yakni analitis, kreatif, dan praktis. Inteligensi analitis melibatkan proses-proses kognitif individu. Inteligensi kreatif adalah insights individu untuk menghadapi berbagai pengalaman baru. Inteligensi praktis adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dan membentuk ulang lingkungannya.
Howard Gardner seorang teoritisi kontemporer paling terkenal tentang inteligensi sebagai sesuatu yang lebih dari sebuah kemampuan tunggal. Teori Gardner tentang multiple inteligences menyebutkan adanya delapan macam inteligensi yang terpisah: linguistic, logical mathematical, spatial, musical, bodily kinesthetic, interpersonal, intrapersonal, dan naturalist. Menurut Gardner, individu-individu berbeda kekuatannya di inteligensi-inteligensi yang berbeda.
3)      Emotional quotient. Goleman (dalam Arends, 2008, hlm.49) EQ adalah kemampuan untuk menengarai dan mengelola emosinya sendiri, untuk menengarai emosi orang lain, dan untuk menangani hubungan. Hal yang penting tentang EQ bagi guru adalah mengenali emosi sebagai sebuah kemampuan dan menyadari bahwa emosi dapat dipengaruhi seperti halnya kemampuan-kemampuan lainnya. Mengajari siswa untuk memiliki hubungan yang dekat dan mengelola emosi-emosi yang kuat seperti amarah memberikan fokus bagi banyak pelajaran hubungan manusia.
4)      Nature atau nurture? Ada perdebatan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun tentang apakah inteligensi berasal dari keturunan (nature) atau dari lingkungan (nurture). Kebanyakan psikologi masa kini mengambil jalan tengah dan melihat inteligensi sebagai hasil keturunan maupun lingkungan. Keturunan menetapkan rentang kemampuan, tetapi lingkungan sangat memengaruhi apa yang dilakukan orang dengannya.
4.      Perbedaan dalam Gaya Kognitif dan Gaya Belajar
Variasi gaya kognitif dan gaya belajar, utama dalam hal bagaimana siswa mempersepsi dunianya dan bagaimana mereka memproses  dan melakukan refleksi terhadap informasi. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan dalam otak, preferensi, dan sebagian lainny oleh budaya.
a.       Gaya Kognitif. Sudah sejak lama para psikolog melihat bahwa orang berbeda-beda dalam mempersepsi dan memproses informasi Wapner & Kemick (dalam Arends, 2008, hlm.48). Sebagian individu field dependent, mereka mempersepsi situasi secara keseluruhan dan mereka melihat gambar besar di kebanyakan situasi yang bermasalah. Sebagian lain bersifa field independent, mereka cenderung melihat bagian-bagian terpisah dari keseluruhan. Kemungkinan besar siswa-siswa yang field independent akan membutuhkan bantuan dalam melihat gambar besar dan mungkin lebih senang bekerja sendirian, sementara siswa-siswa field dependent lebih senang mengerjakan tugas-tugas jangka panjang dan berbasis masalah.
b.      Gaya Belajar. Individu-individu juga mendekati belajar dengan cara yang berbeda. Salah satu perbedaan gaya belajar yang penting disebut adalah in-context (di dalam konteks) dan out-of-context (di luar konteks). Apa artinya belajar dalam konteks? Artinya, anak-anak memperoleh keterampilan dan pengetahuan pada titik yang keterampilan dan pengetahuan itu dibutuhkan dalam situasi kehidupan nyata. Belajar di luar konteks berarti bahwa pembelajaran itu tidak berhubungan dengan kebutuhan rill dan segera. Kedua jenis mengajar dan belajar tersebut sama pentingnya, dan keduanya dapat bekerja, tetapi anak-anak terbiasa dengan belajar dalam konteks sering dibingungkan oleh pengajaran di luar konteks yang sangat dominan di sekolah-sekolah.
c.       Preferensi Belajar. Terakhir, beberapa bukti menunjukan bahwa siswa memiliki preferensi untuk jenis lingkungan dan modelitas belajar. Konseptualisasi preferensi belajar yang sangat populer dikembangkan oleh Dunn (1978, 1987). Mereka mengatakan bahwa siswa berbeda dalam hal preferensi lingkungan belajar (suara, cahaya, pola pengaturan tempat duduk), banyaknya dukungan emosional yang dibutuhkan, dan derajat struktur dan interaksi sebaya. Jelas penting bagi guru untuk menyadari bahwa siswa-siswanya memiliki cara memproses informasi yang berbeda-beda dan preferensi cara belajar yang berbeda pula.

B.     Eksepsionalitas atau Keluarbiasaan
Dewasa ini di dalam kegiatan pembelajaran seorang pendidik diharuskan untuk melaksanakan kegiatan pengajaran yang bersifat humanis artinya melaksanakan proses pembelajaran yang adil dan dapat memahami karakteristik seluruh peserta didik serta menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai yang akan mendorong terciptanya kegiatan pembelajaran ideal. Seorang pendidik juga haruslah memiliki kesiapan mental guna mempersiapkan diri dalam menghadapi berbagai macam tantangan di dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, salah satu tantangan yang sering kali dihadapi oleh seorang pendidik adalah keragaman dari peserta didik. Salah satu bentuk keragaman peserta didik adalah Eksepsionalitas atau keluarbiasaan, terdapat dua jenis kasus yang termasuk ke dalam kategori luarbiasa ini diantaranya kasus disabilitas (siswa berkebutuhan khusus) dan siswa gifted (siswa berkemampuan luar biasa).
Siswa disabilitas adalah siswa yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang harus dipenuhi oleh pendidik agar mereka mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan seperti siswa siswa lainnya, sedangkan siswa gifted adalah siswa yang memiliki kemampuan istimewa yang jauh di atas kemampuan siswa pada umumnya. Dalam hal ini keterampilan pendidik dibutuhkan untuk menangani kasus tersebut. Perbedaan kasus membutuhkan perbedaan penanganan pula. Penanganan yang harus dilaksanakan oleh pendidik untuk kasus disabilitas adalah dengan cara memberikan fasilitas pembeajaran yang sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Selain itu pengadaan sekolah inklusi  juga turut memberikan kontribusi dalam memfasilitasi peserta didik disabilitas untuk tetap mendapatkan pendidikan yang sama dengan peserta didik lainnya tanpa adanya diskriminasi.
Sekolah inklusi adalah sekolah yang memungkinkan siswa disabilitas belajar di dalam kelas reguler, namun sekolah inklusi tetap memberikan kriteria khusus peserta didik disabilitas yang dapat bergabung di dalamnya yaitu siswa dengan disabilitas belajar ringan dan siswa yang memiliki disabilitas perilaku atau emosional. Penanganan yang dilakukan yaitu berupa penanganan khusus yang lebih intensif secara personal oleh pendidik maupun tenaga bantuan lain. Selain itu, tekonologi pun mempunyai peran penting sebagai sarana pembantu siswa disabilitas dalam melaksanakan proses belajar.
Sedangkan penanganan yang dibutuhkan untuk peserta didik gifted adalah dengan cara  memahami bidang apa saja yang menjadi kelebihan siswa tersebut dan membuat model pembelajaran yang relevan dengan kasus yang dihadapi, juga memberikan pengayaan pembelajaran bagi mereka yang memiliki kecepatan dalam belajar sehingga mereka dapat memanfaatkan kelebihan waktu yang mereka miliki dan menjadikan mereka sebagai tutor sebaya yang akan membantu siswa lainnya dalam membertajam pemahamannya tentang materi pembelajaran yang diberikan.
Meskipun kedua kasus keragaman tersebut berbeda (disabilitas dan gifted) namun inti dari penanganan masalah nya adalah sama yaitu dengan melakukan difersifikasi terhadap kurikulum pembelajaran demi menciptakan suatu pembelajaran yang sesuai dengan tujuan.

C.    Budaya, Etnis, Ras
1.      Perspektif tentang Budaya, Etnis, dan Ras
Indonesia memiliki banyak berbagai kebudayaan, bahasa, agama dan ras, dan memiliki perbedaan kelas-kelas sosial tertentu dan perbedaan gender. Dalam suatu kelas disekolah memiliki peserta didik yang berbeda kebudayaan, bahasa, agama dan ras.
Villegas (dalam Arends, 2008, hlm.48)  Teori perbedaan kultural bahwa bahasa adalah wahana untuk interaksi di sekolah, dan bila bahasa yang digunakan oleh sebuah subkultur berbeda dengan bahasa arus-utama, maka para anggota subkultur itu berada dalam posisi yang kurang diuntungkan. Villages menjelaskan: anak anak yang penggunaan bahasanya di rumah berkorespondensi dengan apa yang diharapkan di kelas memiliki keuntungan dalam proses belajar. Bagi mereka, pengalaman sebelumnya di transfer ke kelas dan memfasilitasi performa akademik mereka. Sebaliknya, anak-anak minoritas sering mengalami ketidaksinambungan dalam penggunaan bahasa di rumah dan di sekolah. Mereka sering salah di mengerti ketika menerapkan pengetahuan mereka sebelumnya dalam tugas-tugas di kelas.
2.      Menangani siswa-siswa di kelas dengan Ras dan Budaya yang beragam
Peserta didik di dalam kelas memiliki budaya yang beragam, sebagai pendidik baru yang khawatir mengenai bagaimana cara menangani dan hal apa yang dapat dilakukan di kelas agar dapat menangani peserta didik yang memiliki perbedaan budaya tersebut. Pendidik harus memiliki strategi untuk mengembangkan serta merespons beragam kebutuhan peserta didik, terlepas dari latar belakang budaya dan ras nya. Bagi seorang pendidik yang baru mengajar, cara menangani peserta didik yaitu dengan pengetahuan yang dimiliki pendidik dan sikap dari pendidik sendiri terhadap peserta didik. Yang terpenting adalah pendidik harus memastikan bahwa kurikulum yang digunakan adil dan relevan secara kultural, dan pendidik harus menggunakan strategi mengajar yang efektif dan responsif secara kultural.
a.       Mengembangkan pemahaman kultural dan kesadaran diri
Bagian pertama strategi pendidik dalam menangani berbagai budaya yang beragam pada peserta didik yaitu pendidik harus mengembangkan pengetahuannya dan pemahaman kultural yang lebih luas dan kesadaran diri yang lebih tinggi. Pendidik meningkatkan pengetahuan terhadap orang-orang yang berbeda dengan dirinya dan belajar berbagai budaya yang ada di masyarakat dan mengalahkan persepsi mengenai bias bias kebudayaan.
Cara mengenal berbagai kebudayaan di masyarakat yaitu dengan menggali informasi melalui internet, membaca buku dan artikel penelitian. Dengan mencari informasi tersebut pendidik baru akan mengetahui bagaimana dalam menghadapi perbedaan kebudayaan dengan dirinya.
b.      Menciptakan kurikulum yang relevan secara kultural dan bersifat multikultural
Seorang pendidik baru perlu kesiapan dalam membuat keputusan tentang kurikulum yang  relevan secara kultural dan bersifat multikultural. Secara umum, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai kurikulum dan pendekatan pedagogis yang mengajarkan kepada siswa untuk menghormati dan menghargai keanekaragam.
Pendekatan-pendekatan kurikulum yang ditawarkan James banks (dalam Arends, 2008, hlm.66)

Level 1
Pendekatan Kontribusi
Fokusnya adalah para pahlawan, hari besar nasional, dan elemen-elem budaya yang diskrit.

Level 2
Pendekatan Aditif
Berbagai isi, konsep, tema, dan perspektif ditambahkan ke kurikulum tanpa mengubah strukturnya.

Level 3
Pendekatan Transformasi
Struktur kurikulumnya diubah untuk memungkinkan siswa melihat berbagai konsep, isu, kejadian, dan tema dari perspektif kelompok etnik dan budsaya beragam.

Level 4
Pendekatan Tindakan Sosial
Siswa mengambil keputusan tentang berbagai isu sosial dan mengambil tindakan untuk membantu mengatasinya.

 








                                                                  





Gambar 2.2 Pendekatan-pendekatan Kurikulum

Pendekatan kontribusi, menurut banks berupa menggunakan pelajaran untuk membahas tentang pahlawan-pahlawan yang dimiliki berbagai budaya, merayakan hari besar yang dimilki berbagai budaya, dan memberikan penghargaan pada seni , musik, sastra, masakan khas, dan bahasa berbagai budaya. Sebagai contoh, seorang guru sd memperkenalkan berbagai kebergaman kebudayaan yang ada di Indonesia.
Pendekatan aditif, pendidik menyusun pelajaran atau unit-unit sampingan tentang kelompok atau budaya tertentu atau membawa literatur atau buku yang menunjukkan berbagai perspektif budaya yang berbeda. Pendekatan transformasi, pendidik berusaha mentransformasi kan kurikulumnya dengan memasukkan serangkaian konsep yang berhubungan dengan pluralisme kultural ke dalam pelajaran-pelajaran yang sedang berlangsung. Dalam pendekatan ini peserta didik dilatih agar bisa menghargai dan mengambil sikap positif terhadap orang lain dari kelompok minoritas dikelas maupun diluar kelas.
Pendekatan tindakan sosial, pendidik tidak hanya mendorong peserta didik dalam menelaah berbagai permasalahan yang terkait dengan keanekragaman budaya, tetapi peserta didik didorong untuk memiliki keterampilan dalam merancang proyek-proyek potensial untuk mengambil tindakan dan mempromosikan keadilan sosial.
c.       Menggunakan pedagogi yang relevan secara kultural
Inti penanganan keanekaragaman kultural adalah kempampuan guru untuk mengaitkan antara dunia siswa dan budayanya dengan dunia sekolah dan kelas. Kemampuan itu akan memungkinkan guru untuk menemukan cara melekatkan budaya siswa ke setiap pelajaran dan tindakan. Strategi yang digunakan seperti Learning to Teach yaitu dengan membentuk dasar untuk mengajar di kelas yang beragam budayanya, dan cooperative learning yang telah terbukti efektif dengan populasi siswa yang beragam dan dalam mengubah secara positif sikap siswa yang beragam budayanya. Oleh karena itu, perhatian yang diberikan  disini adalah pada strategi-strategi intruksional yang secara khusus diarahkan pada kelas yang beragam kulturalnya.
d.      Mengaitkan dengan pengetahuan sebelumnya
Guru dapat mendasarkan diri pada pengetahuan siswa sebelumnya dan membantu mereka untuk mengaitkan antara apa yang sudah mereka ketahui dan apa yang akan mereka pelajari. Hal ini dilakukan untuk membantu siswa untuk melihat persamaan dan perbedaan diantara berbagai budaya dan membantu siswa dalam mengembangkan kesadaran multukultural. Agar dapat melakukannya secara efektif huru harus aktif mencari informasi tentang pengetahuan siswa sebelumnya dan memahami budaya siswa-siswanya sekaligus mengukur apa yang sudah dan belum diketahui oleh siswa.
e.       Menggunakan pengelompokkan yang fleksibel
Mengelompokan siswa ini dnegan maksud agar siswa banyak menyadarkan diri pada pengelompokan yang heterogen dan meminimalkan pengelompokan berdasarkan kemampuan. Guru seharusnya memastikan bahwa ada siswa yang memiliki kemampuan  tinggi, sedang, rendah disetiap kelompok belajar dan berusaha mencapai keseimbangan rasial dan etnik. Keanggotaan di kelompok kemampuan seharusnya bersifat fleksibel, kelompok seharusnya berubah bila siswa menunjukkan kemajuan dan ketika kebutuhan baru dan berbeda diidentifikasi.
f.       Memberi perhatian pada gaya belajar
Guru dapat merancang kegiatan belajar yang sesuai dengan berbagai gaya belajar dalam membuat gaya variasi dalam pengajarannya. Salah satu rutenya adalah memasukkan modalitas visual, auditorik, taktil dan kistik kedalam pelajaran. Guru juga dapat menerapkan struktur tugas dan reward yang kooperatif maupun individualistic.
g.      Assigning competence
Sebuah pertimbangan terkait dalam perencanaan dan penyajian pelajaran adalah mengapitalisasikan kemampuan yang sudah dimilki siswa. Hal ini sangat penting bagi anak-anak yang berbeda secara kultural yang mungkin diberi status rendah untuk alasan apapun. Guru dapat menggunakan teknik ini untuk menetapkan kompetensi, guru pertama mengamati siswa dengan teliti selama mereka mengerjakan berbagai tugas dan kemudia mengidentifikasi kemampuan khusus masing-masing siswa, setelah itu guru secara khusus dan terbuka mengumumkan hasil kompetensi siswa tertentu. Hal ini guna meningkatkan motivasi peserta didik untuk berprestasi lebih baik lagi.
h.      Menerapkan pengajaran strategi
Yaitu elemen instruksional yang seharusnya menjadi bagian penting pengajaran. Karakteristik yang membedakan pelajar yang  baik dan pelajar yang buruk adalah kemampuannya untuk menggunakan strategi belajar untuk menyelesaikan berbagai masalah agar bisa belajar dengan sukses.
i.        Memberi perhatian kepada motivasi
Motivasi menjadi kepedulian utama yang dapat diubah yang menyangkut kemampuan siswa untuk terlibat dan persisten dalam mengerjakan tugas-tugas belajar. Strategi yang digunakan untuk meningkatkan motivasi untuk siswa berisiko, salah satunya program HOTS dikembangkan untuk siswa SD di remedial pull-out programs (program mengeluarkan siswa dari kelas regular untuk ditempatkan dikelas khusus selama beberapa jam setiap hari untuk tujuan perbaikan. Program ini telah terbukti efektif dalam membantu  siswa untuk meraih kesuksesan di sekolah dan menemukan tantangan dan interaksi yang jauh lebih memotivasi daripada latihan dan praktik terus-menerus. Strategi kedua yaitu program untuk siswa SMA hispanik yang difokuskan pada pengutamaan untuk belajar di perguruan tinggi , sebagian melalui pembicaraan yang berorientasi pada masa depan. Terakhir, community problem solving (mengatasi masalah masyarakat) adalah strategi yang berbasis pada masalah yang terbukti efektif di kelas-kelas yang beragam. Strategi ini digunakan guru untuk mendorong siswa untuk mengidentifikasikan keprihatinan mereka tentang masyarakat atau lingkungan tempat tinggalnya dan membantu mereka merencanakan dan melaksanakan berbagai proyek independen.
3.      Keanekaragaman religius
Kebijakan yang lebih besar tentang peran agama di sekolah tertentu kiranya berada di luar pengaruh seorang guru. Akan tetapi, guru dapat memainkan peran vital dalam mengajarkan tentang agama dan memberikan teladan tentang sikap menghormati dan toleransi terhadap berbagai macam keyakinan religious.
Guru mestinya juga menerima ketidakhadiran siswa karena mengikkuti hari besar keagamaan tertentu dan mencegah siswa ejekan oleh siswa yang memiliki keyakinan berbeda. Mereka dapat mengajarkan dan mendiskusikan berbagai ide, keyakinan dan tradisi berbagai agama selama hal itu dilakukan secara adil, dengan sikap hormat, jujur secara intelektual.

D.    Keberagaman Bahasa
Keanekaragaman bahasa mereprentasikan salah satu perubahan signifikan dalam demografis sekolah di Indonesia. hampir semua siswa di Indonesia memiliki bahasanya sendiri yang berasal dari bahasa daerah, tidak semua siswa yang bersekolah di sekolah yang sama memiliki bahasa daerah yang sama. Oleh karena itu mereka harus mempelajari bahasa yang semua orang mengerti dan paham yaitu Bahasa Indonesia yang merupakan Bahasa Nasional. Pendidik harus mengenali bahasa itu sebagai salah satu faktor besar di sekolah dan mengembangkan berbagai cara untuk menangani peserta didik yang berbicara dengan berbagai macam dialek atau bahasa yang berbeda sebagai bahasa daerahnya.
Penting untuk ditekankan bahwa orang-orang yang berbicra dengan dialek tertentu atau bahasa deerah bukan berarti mengunakan bahasa yang “kampungan”, melainkan mereka masih dan ingin selalu mencintai dan melestarikan bahasa derahnya masing-masing.
1.      Cara Menangani Keanekaragaman Bahasa Di Kelas
Sikap seorang pendidik untuk menangani keanekaragama bahasa yang dimiliki para peserta didiknya yaitu, dengan memaksimalkan input bahasa yang mudah dipahami dan di merengerti, dengan itu akan membantu peserta didik menguasai bahasa tersebut. sebagai contoh, sebuah universitas yang banyak di minati oleh mahasiswa berbagai daerah, dan universitas tersebut berada di daerah jawa barat. Namun banyak mahasiswa dari luar jawa barat, karena di universitas tersebut mayoritas berasal dari jawa barat maka harus ada lebih banyak interaksi antar mahasiswa asli jawa barat dan luar jawa barat. Hal itu akan mempermudah mahasiswa menguasai bahasa tersebut. untuk mempermudah pembelajar pendidim dapat di bantu dengan bahasa indonesia yang hampir semua mahasiswa mengerti dan pahami seluruhnya.

E.     Perbedaan Gender
Isu bias gender telah menjadi masalah di kelas-kelas di Amerika. Terutama pada anak perempuan bagaimana mereka disosialisasikan, apakah ada perbedaan gender dalam kemampuan verbal dan matematik, dan apakah perbedaan-perbedaan itu bersifat alamiah atau akibat sosialisasi diferensial. Akan tetapi, ada juga keprihatinan tentang bagaimana anak laki-laki tertinggal di bidang keterampilan verbal dan angka keikutsertaan mereka di perguruan tinggi.
1.      Sifat Perbedaan Gender
Apa perbedaan anak perempuan dan anak laki-laki? Kebanyakan studi tidak menemukan perbedaan besar yang melekat pada anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal kemampuan kognitif secara umum Halpern dan Lamay (dalam Arends, 2008, hlm.77). Akan tetapi, Diane Halpern (dalam Arends, 2008, hlm.77) mengatakan bahwa memang ada beberapa perbedaan. Anak perempuan menunjukan kinerja yang lebih baik di bidang seni bahasa, pemahaman bacaaan, dan komunikasi tertulis dan lisan, sementara anak laki-laki sedikit unggul di bidang matematika dan penalaran matematis. Sebagian lainnya ada yang mengatakan bahwa perbedaan gender dalam kaitannya dengan kognisi dan prestasi mungkin bersifat situsional.
Dalam kepribadian dan fisik perbedaan tersebut lebih nyata dan konsisten. Laki-laki tampak lebih asertif dan memiliki self-esteem yang lebih tinggi dibanding perempuan, yang cenderung lebih terbuka dan memercayai orang lain.
Fitur
Perbedaan/Persamaan
Implikasi untuk Pendidikan
Kemampuan Kognitif
Keduanya memiliki kemampuan kognitif yang hampir sama. Anak perempuan lebih baik dalam tugas verbal; anak laki-laki lebih baik dalam keterampilan visual-spasial
Mengharapkan keduanya untuk memiliki kemampuan kognitif yang sama
Fisik
Sebelum peubertas keduanya memiliki kapabilitas yag sama. Setelah pubertas, laki-laki unggul dalam hal tinggi badan dan kekuatan otot.
Mengasumsikan keduanya memiliki potensi untuk mengembangkan berbagai keterampilan fisik dan motorik, terutama seama di sekolah dasar.
Motivasi
Anak perempuan pada umumnya lebih peduli tentang prestasinya di sekolah mereka cenderung bekerja kerasa di berbagai tugas tetapi kurang berani mengambil risiko. Anak laki-laki mengerahkan usaha lebih besar di subjek-subjek yang “stereotipikal laki-laki” seperti matematika, sains. mekanika
Mendorong keduanya unggu di semua subjek; menghindari stereotipe
Self-Esteem
Anak laki-laki memiliki rasa percaya diri tentang kemampuannya untuk mengendalkan dan mengatasi masalah; anak perempuan cenderung melihat drinya lebih kompeten di hubungan interpersonal. Anak laki-laki memiliki kecenderungan untuk menlai kinerjanya sendiri secara lebih positif dibanding anak perempuan, meskipun kinerja aktual mereka sama.
Menunjukan kepada semua siswa bahwa mereka bisa berhasil di bidang-bidang yang kontrastereotipikal
Aspirasi Karier
Anak perempuan cenderung meliat dirinya sendiri lebh college-bound daripada anak laki-laki. Tetapi anak laki-lai memliki memiliki ekspetasi jangka panjang yang lebih tinggi untuk dririnya sendiri, khususnya di bidang-bidang yang stereotipikal maskulin. Anak perempuan cenderung memilih karier yang tidak akan mengganggu peran mereka di masa depan sebagai pasangan atau orang tua
Memapari semua siswa dengan model-model laki-laki dan perempuan yang sukses di semua bidang. Menunjukan orang-orang yang sukses dalam karier sekaligus keluarga
Hubungan Interpersonal
Anak laki-laki cenderung menunjukan agresi fisik yang lebih tinggi; anak perempuan cenderung lebih afiliatif dan lebih banyak membentuk hubungan dekat. Anak perempuan lebih nyam dalam situasi yang kompetitif dan kooperatif
Mengajari keduanya cara-cara berinteraksi yang kurang agresif dan memberikan lingkungan yang kooperatif untuk mengakomodasi kecenderungan afiliatif anak-anak perempuan

2.      Asal Muasal Perbedaan Gender
Asal perbedaan gender yang pertama adalah nature yaitu aspek biologis dan hormon yang mempengaruhi jenis permainan. Perbedaan yang kedua ialah nurture perbedaan ini terbentuk karena adanya proses belajar dari lingkungan dimana mereka tinggal. Zambo dan Hess (dalam Arends, 2008, hlm.79) mengatakan bahwa beberapa perbedaan gender mungkin sudah ada sejak lahir, tetapi perbedaan itu tidak tetap dan dapat diubah melalui pengalaman

3.      Stereotipe Dan Perlakuan Diferensial
Semenjak kecil anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang tua. Maka, laki-laki dan perempuan belajar dengan cara yang dipelajari dirumah. Berbagai penelitian Sadker, Sadker, & Klein, 1991; Women on Words and Images (1975) menemukan bahwa laki-laki lebih banyak digambarkan dalam peran-peran aktif dan profesional, sementara perempuan lebih sering diperlihatkan dalam peran-peran pasif dan mengurus rumah. Seperti halnya perlakuan guru di kelas pada siswa anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki lebih banyak mendapat perhatian dari guru karena dianggap akan sering menimbulkan banyak masalah.
Bias gender dan perlakuan diferensial terhadap anak perempuan masih menjadi masalah. Akan tetapi, Eccles (1989) dan Ormrod (2000) melaporkan bahwa sekolah dan guru semakin berusaha memberikan perlakuan yang sama kepada anak laki-laki dan anak perempuan
4.      Menangani Perbedaan Gender Di Kelas
Berikut beberapa cara menangani perbedaan gender di kelas:
a.       Sadarilah tentang keyakinan dan perilaku Anda sendiri.
b.      Pantau frekuensi dan sifat interaksi verbal Anda.
c.        Pastikan bahwa bahasa dan materi kurikulum Anda bebas-gender dan berimbang.
d.      Berikut tugas-tugas kelas kepada anak-anak dengan cara yang equitable (seimbang, adil, fair) dan temukan cara agar anak laki-laki dan anak perempuan dapat bermain bersama dengan tenang dan aktif. Tindakan infromal ini dapat memberikan model yang dapat diikuti siswa.
e.       Dorong siswa untuk reflektif terhadap hasil kerja dan sikapnya sendiri dan diskusikan tentang stereotipe peran-jenis dengan siswa.
f.       Tunjukan sikap hormat kepada seluruh siswa dan tantang anak laki-laki dan anak perempuan dengan cara yang baik.

F.     Perbedaan Kelas Sosial
Socio Economic Status (SES) merupakan istilah yang menunjukan perbedaan-perbedaan individu dalam kelas sosial di masyarakat barat. Serta, menunjuk kepada perbedaan-perbedaan yang terkategorikan menjadi empat kelas sosial-ekonomi yaitu: Upper class (kelas atas), Middle class (kelas menengah), Working clas (kelas pekerja), dan Lower class (kelas bawah/rendah). Beberapa karakteristik yang menentukan identifikasi kelas sosial seseorang adalah pekerjaan, penghasilan, kekuasaan politis, pendidikan, lingkungan tempat tinggal dan latar belakang keluarga. Akan tetapi, garis batas-batas diantara SES-SES itu tidak selalu ditetapkan dengan jelas. Karena SES terbilng relatif, seseorang bisa saja tinggi di salah satu karakteristik, tetapi tidak begitu tinggi di karakteristik lainnya.
1.      Karakteristik dan Kinerja Siswa-Siswa dengan SES-rendah
Banyak anak dari orang tua kelas pekerja dan hampir semua anak dari keluarga dengan SES-rendah hidup dalam kemiskinan. Sebagian dibesarkan di keluarga dengan orang tua tunggal dan oleh orang dewasa yang kurang memiliki pendidikan, profisiensi bahasa, dan keterampilan kerja. Banyak anak-anak dengan SES-rendah yang juga merupakan anak-anak dari wilayah tertinggal yang memungkinkan besar memiliki pendidikan formal terbatas dan mungkin memiliki penguasaan bahasa nasional yang terbatas. Umumnya anak-anak dengan SES-rendah datang ke sekolah tanpa sarapan, mengenakan pakaian yang sudah tua, dan bertutur dengan bahasa yang berbeda dengan yang digunakan di sekolah serta menunjukan prestasi yang lebih rendah atau kesenjangan prestasi antara SES-rendah dengan SES-menengah. Anak-anak dengan SES-rendah sering menerima kurikulum yang tidak setara, tracking dan interaksi diferensial dengan guru di kelas. Mereka juga kurang banyak yang terdaftar di program pendidikan persiapan kuliah di perguruan tinggi dan memiliki kemungkinan kecil untuk kuliah di perguruan tinggi.
2.      Perlakuan diferensial terhadap Siswa-Siswa dengan SES-Rendah
Perilaku diferensial menjadi salah satu penjelasan prestasi yang lebih rendah pada siswa-siswa dengan SES-rendah. Biasanya guru menetapkan ekspektasi yang rendah dan stereotipe atau menilai siswa secara subjektif atau apa yang nampak karena pakaian yang mereka kenakan serta karena bahasa yang mereka gunakan. Seperti dideskrifsikan sebelumnya, ekspektasi rendah guru terhadap siswa-siswanya akan menghasilkan self-sesteem (harga diri) yang rendah pada anak-anak ini dan ekspektasi yang rendah pula terhadap hasil kerjanya sendiri.
Masalah paling serius bagi siswa dengan SES-rendah adalah pengelompokan berdasarkan kemampuan dan  tracking. Siswa-siswa dengan SES-rendah secara tidak proporsional ditempatkan di kelompok-kelompok berkemampuan rendah dan kelas-kelas  track-rendah yang kualitas pengajarannya lebih buruk dibanding kelompok-kelompok yang lebih tinggi.
Penetapan ekspektasi yang rendah seharusnya tidak dilakukan oleh seorang guru, karena siswa SES-rendah akan merasa tidak di adili oleh gurunya, sedangkan seorang guru merupakan fasilitator untuk setiap siswanya baik SES-rendah maupun SES-menengah.
3.      Menangani Siswa-Siswa dengan SES-Rendah
Munculnya perbedaan SES jelas akan mengakibatkan adanya diversitas atau keberagaman diantara siswa-siswa, yang tentunya akan mengakibatkan kesenjangan pendidikan bagi orang-orang yang tergolong pada SES-rendah dibandingkan dengan SES-menengah. Sebagai seorang guru, seorang guru tentunya harus bertanggungjawab atas kemajuan suatu pendidikan dengan memberikan layanan pendidikan yang adil, tidak berlaku tidak adil kepada siswa yang memiliki SES-rendah.
Oleh karena itu, terdapat 6 cara untuk menangani siswa-siswa dengan SES-rendah diantaranya:

a.       Bangun Kepercayaan dengan Siswa
Bangun kepercayaan dengan Siswa yang mungkin merasa didiskriminasikan atau merasa ditinggalkan perlu diketahui bahwa guru ada sebagai fasilitator mereka. Luangkan waktu untuk berbicara dengan siswa secara individual untuk memahami siswa atau mengunjungi keluarga dan pergi ke rumah siswa yang memiliki masalah, dengan menunjukan kesediaan untuk dapat menerima siswa SES-rendah dan tidak berekspektasi rendah dan steretipe atas kemampuan mereka.
b.      Melibatkan Siswa
Melibatkan siswa merupakan hal yang sangat penting, dengan ini siswa SES-rendah akan merasa sama dengan SES-menengah sehingga mampu mencegah adanya kesenjangan diantara keduanya. Seorang guru pun bisa menambah pembelajaran dengan membandingkan perbedaan tanpa menyudutkan pihak manapun sehingga terbangun Motivasi bagi siswa SES-rendah untuk merubah keadaannya.
c.       Membuat sebuah Perayaan
Dengan niat agar seluruh siswa dapat menerima teman-temannya satu sama lain, sebuah perayaan dapat menjadi sebuah media pendekatan yang efektif bagi seluruh siswa karena pada umumnya sebuah perayaan merupakan hal yang identik dengan kegembiraan.
d.      Melibatkan Orang Tua
Orang tua memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai situasi ekonomi mereka cenderung memberi saran lebih baik kepada siswa sambil mengasuh anak secara bersamaan. Jika siswa merasa malu dengan SES-rendah, orang tua bisa memotivasi anak mereka agar tidak membiarkan faktor ini menunda anak dalam pergi ke sekolah tapi untuk memotivasi mereka, mengetahui fakta sebenarnya bahwa dengan pendidikan yang lebih tinggi, suatu hari nanti siswa tersebut bukan anak malang. Terlepas dari masalah apa yang mungkin ada, orang tua akan selalu memiliki kepentingan terbaik untuk anak mereka.
e.       Mengenalkan buku
Buku merupakan pengetahuan tertulis yang dapat dibaca kapan saja, agar siswa SES-rendah mampu mengimbangi anak-anak SES-menengah, seorang guru bisa merekomendasikan berbagai buku kepada siswa sehingga siswa mampu mengejar ketertinggalannya.
f.       Membiasakan Siswa Menulis
Guru harus melihat proses pemikiran mereka dengan baik dan melihat bagaimana mereka secara sadar memastikan bahwa kelas mereka adalah kelas yang merayakan keragaman dan menyingkirkan diskriminasi dan bias. Adakah stereotip yang mempengaruhi pemikiran guru terhadap kelompok atau siswa tertentu? Sulit untuk menghadapi perspektif seperti ini. Maka, seorang guru harus belajar lebih banyak, dan mulai membiasakan diri untuk menjauh dari gagasan yang telah terbentuk sebelumnya untuk membantu siswa kita merasa diterima. Sementara kegiatan yang disebutkan di atas adalah titik awal yang bagus untuk menetapkan landasan yang kokoh atau kelas yang responsif.

G.    Beberapa Pemikiran Akhir dan Isu-Isu Tingkat Sekolah
Semua masalah yang terkait dengan keanekaragaman tidak dapat diatasi sendiri oleh guru. Sebaliknya, hal itu membutuhkan tindakan tingkat sekolah untuk membuat sekolah yang lebih sensitif terhadap siswa-siswa yang berasal dari beragam latar belakang dan dengan berbagai kebutuhan khusus. Salah satu temuan yang paling konsisten dari penelitian adalah tracking berdasarkan kemampuan atau retensi tidak mendulung prestasi. Praktik semacam itu juga memiliki konsekuensi yang merugikan bagi siswa-siswa minoritas. Jadi, langkah yang baik untuk memulai reformasi adalah dengan mengurangi atau menghapus tracing. Banyak sekolah saat ini sedang mengembangkan kurikulum interdisipliner, yang banyak menyadarkan diri pada pembelajaran kooperatif untuk penerapan tes-tes standar, dan pengelompokan yang fleksibel (Kohn, 1996; Oakes & Lipton, 2007).
Juga ada tingkat sekolah yang dapat mengambil untuk menangani keadaan kehidupan siswa-siswa “beresiko” yang berat kemiskinan. Kebanyakan sekolah menawarkan makanan siang gratis atau dengan harga lebih murah untuk siswa, tetapi hanya sekitar 50 persen di antara sekolah-sekolahini yang juga menawarkan sarapan gratis dengan harga lebih murah.
Program-program sekolah yang menargetkan intervensi-dini juga membantu. Efektifitas salah satu program semacam itu-head star (program pendidikan dan kesejahteraan di amerika serikat)- sudah terbukti. Untuk setiap dolar yang diinvestasikan di Head Star, lebih banyak anak yang terselamatkan dengan mengurangi kebutuhan mereka akan tindakan pendisiplinan dan remediasi, tunjangan kesejahteraan, pengadilan kriminal.
Jalur penting lain yang dapat di tempuh untuk memperbaiki hasil pendidikan siswan dengan SES rendah adalah keterlibatan orangtua dan masyarakat. Bila orangtua dan anggota masyarakat lainnya dilibatkan dalam kehidupan sekolah melalui berbagai program tutoring, program mentoring, komite perbaikan sekolah, pendidikan untuk orang tua, site-based govermance, atau kegiatan-kegiatan lainnya, maka siswa dapat mendapat manfaatnya (Epstein, 1995,2001;Epstein & Sandres, 2002; Nettles, 1991)
Hal yang paling mendasari semua rekomendasi di bab ini adalah pentingnya guru untuk menghargai siswanya secara individual maupun kolektif dan menantang mereka untuk mencapai  potensi tertingginya. Claude Steele (dalam Arends, 2008, hlm 85)  menggarisbawahi tema-tema tentang nilai dan tantangan ini dengan mengatakan, “Bila segala yang berarti dan penting bagi siswa,siswa harus merasa dihargai oleh guru baik untuk potensi yang dimilikinya maupun sebagai orang.” Bila apa pun yang terjadi di sekolah- kurikulum yang dimaksudkan untuk diremediasi (perbaikan), atau pengajaran yang di maksudkan sebagai pendagogi kemiskinan-mengurangi perasaan siswa bahwa dirinya adalah orang yang dihargai, siswa yang cenderung tidak mengidentifikasi diri dengan tujuan sekolah. Tantangan intelektual berjalan seriiring dengan sikat menghargai. “Hubungan guru-siswa yang saling mengahargai tidak akan berjalan tanpa tantangan, dan tantangan dari luar hubungan yang saling menghargai akan ditentang”.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sangat penting untuk menggunakan bahasa yang tepat ketika mendiskusikan tentang keanekaragaman dan merujuk ke latar belakang dan kemampuan siswa. Ekuitas mengacu pada penciptaan kondisi di sekolah yang tidak memihak dan sama bagi semua orang. Perlakuan diferensial mengacu pada perbedaan pengalaman pendidikan yang dialami mayoritas ras, kelas, budaya, dan gender; dan yang dialami minoritas. Ekspektasi guru memngaruhi hubungan dengan siswa, apa yang mereka pelajari, dan ekspektasi terhadap kemampuan mereka pelajari, dan ekspektasi terhadap kemampuan mereka sendiri.
Pembelajar siswa disabilitas di sekolah inklusi haruslah mendapatkan penanganan yang tepat dan intensif dari pendidik , sehingga aspek-aspek kehidupan mereka dapat berkembang dengan baik. Seorang pendidik dituntut harus cerdas dalam menangani siswa disabilitas maka dari itu pendidik harus memahami betul karakter siswa tersebut dan keterbatasan apa yang menjadi hambatan siswa tersebut, untuk selanjutnya dapat membuat perencanaan pembelajaran yang tepat, juga menetapkan metode dan media pembelajaran yang sesuai dengan keadaan siswa tersebut. selain itu butuh dijalin kerja sama yang baik antara orang tua siswa dan guru pembantu khusus agar bimbingan dapat dilaksanakan dengan sebaik baiknya.
Sedangkan, penanganan yang dibutuhkan bagi peseta didik gifted adalah yang pertama pendidik harus mampu mengidentifikasi siapa saja siswa yang tergolong gifted dengan mengenali dari ciri ciri yang muncul pada setiap peserta didik, selanjutnya peserta didik dapat menentukan strategi-strategi pembelajaran yang sesuai bagi peserta didik gifted juga seorang pendidik dapat memberikam ekspektasi yang tinggi terhadap mereka agar dapat memicu optimalitas pembelajaran mereka. Terlepas dari perbedaan tersebut persamaan penanganan terhadap dua kasus tersebut adalah dengan melakukan difersifikasi terhadap pembelajaran yang dilaksanakan (memodifikasi pengajaran atau kurikulum untuk memenuhi kebutuhan siswa disabilitas maupun gifted).
Di dalam kelas seorang pendidik dihadapkan dengan berbagai kebudayaan dan ras dari peserta didik, sehingga seorang pendidik harus memahami bagaimana cara dalam menangani peserta didik ketika sedang didalam kelas. Seorang pendidik harus memahami setiap karakter yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik yang beragam baik dari segi budaya, etnis maupun ras.
Pendidik akan menemukan keanekaragaman bahasa yang signifikan di kelas-kelas masa kini. Hal ini termasuk keanekaragaman dalam dialek yang di ucapkan oleh peserta didik, baik  dengan bahasa daerah ataupun dalam bahasa Indonesia yaitu bahasa Nasional. Keanekaragaman bahasa harus dihormati dan penting untuk ditekankan bahwa orang-orang yang berbicra dengan dialek tertentu atau bahasa deerah bukan berarti mengunakan bahasa yang “kampungan”, melainkan mereka masih dan ingin selalu mencintai dan melestarikan bahasa derahnya masing-masing.
Meskipun pengajar didominasi oleh perempuan, bias gender dan perlakuan diferensial terhadap anak perempuan masih menjadi masalah disekolah. Sebagian besar studi menunjukan bahwa terdapat beberapa perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki lebih unggul dalam bidang penalaran matematis sedangkan anak perempuan lebih baik di bidang seni bahasa, membaca dan komunikasi lisan maupun tulisan. Guru berinteraksi dengan cara yang berbeda dengan anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka lebih banyak mengajukan pertanyaan, pujian, independensi kepada anak laki-laki. Guru efektif menyadari kemungkinan bias gendernya sendiri, menghormati dan menantang semua siswa dan memastikan bahwa materi bahasa dan kurikulumnya bebas-gender dan seimbang.
Socio Economic Status (SES) merupakan istilah yang menunjukan perbedaan-perbedaan individu dalam kelas sosial di masyarakat barat. Tingkatan SES terkategorikan menjadi empat tingkatan diantaranya: Upper class (kelas atas), Middle class (kelas menengah), Working clas (kelas pekerja), dan Lower class (kelas bawah/rendah). Munculnya perbedaan SES jelas akan mengakibatkan adanya diversitas atau keberagaman diantara siswa-siswa. Maka dari itu, seorang guru tentunya harus mampu menangani kasus seperti ini, terdapat 6 upaya yang dapat dilakukan oleh seorang guru dalam kasus ini diantaranya: Bangun Kepercayaan dengan Siswa, Melibatkan Siswa, Membuat sebuah Perayaan, Melibatkan Orang Tua, Mengenalkan buku, dan Membiasakan Siswa Menulis. Serta seorang guru harus membuang  persfektif yang negatif terhadap siswa SES-rendah sehingga tidak terjadi streotipe dan diskriminasi diantara siswa-siswa yang berbeda.

B.     Saran
Semua masalah yang terkait dengan keanekaragaman tidak dapat diatasi sendiri oleh guru. Sebaliknya, hal itu membutuhkan tindakan tingkat sekolah untuk membuat sekolah yang lebih sensitif terhadap siswa-siswa yang berasal dari beragam latar belakang dan dengan berbagai kebutuhan khusus. pentingnya guru untuk menghargai siswanya secara individual maupun kolektif dan menantang mereka untuk mencapai  potensi tertingginya.


DAFTAR PUSTAKA

 

Arends, R. I. (2008). Learning To Teach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Emily. (2016, April 3). Education to the core. Retrieved July 7, 2017, from http://educationtothecore.com/2016/04/ways-to-celebrate-diversity/







PEMBELAJARAN SISWA DI KELAS YANG BERAGAM

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Belajar dan Pembelajaran Ekonomi
Dosen pengampu Dr. Neti Budiwati, M.Si







Disusun oleh:
Dhea Rizkiyanti                      1600092
Eva Hadijah                            1600152
Fera Fadlilah                           1605873
Gheatifhal Salsabila                1601104
Hana Muldi Supyati                1602224
Humaira Saras                         1600000
Ira Yulia Agustina                  1602162
Nada Minel Safitri                  1601884
Putri Liany                              1607249
Reffi Kusmeilisa                     1600797



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2017


KATA PENGANTAR

            Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Pembelajaran Siswa di Kelas yang Beragam” dengan tepat waktu.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada Ibu      Dr. Neti Budiwati, M.Si, dosen mata kuliah Belajar dan Pembelajaran Ekonomi yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan. Dan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Kami berharap semoga maklah ini memberikan manfaat maupun inspirasi bagi pembaca. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih.



Bandung, 5 Juli 2017


Penyusun


             DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A.    Latar Belakang Masalah......................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan..................................................................................... 2
D.    Manfaat................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 4
A.    Dukungan Teoritis dan Empiris.............................................................. 4
B.     Eksepsionalitas atau Keluarbiasaan........................................................ 9
C.     Budaya, Etnik dan Ras.......................................................................... 10
D.    Keberagaman Bahasa............................................................................. 16
E.     Perbedaan Gender................................................................................. 17
F.      Perbedaan Kelas Sosial.......................................................................... 22
G.    Beberapa Pemikiran Akhir dan Isu-isu Tingkat Sekolah....................... 25
BAB III PENUTUP................................................................................................ 28
A.    Kesimpulan............................................................................................ 28
B.     Saran...................................................................................................... 30
Daftar Pustaka......................................................................................................... 31


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sekolah yang diciptakan di abad ke-19 dan 20 didasari oleh asumsi bahwa potensi belajar memiliki akar genetik dan kultural, bahwa guru relatif  tidak memiliki kekuasaan untuk berbuat apapun dalam kaitannya dengan kondisi ini, dan bahwa masyarakat dapat menoleransi prestasi yang rendah pada sebagian siswa.
Namun pada dewasa ini, semua itu telah berubah. Semua anak diharapkan bersekolah. Anak-anak dan kaum muda mengusung latar belakang budaya, talenta, dn kebutuhan yang amat beragam ke sekolah. Hal ini berlaku untuk keluarga miskin maupun kaya. Sekolah sekarang adalah milik semua anak, dan potensi belajar setiap anak harus direalisasikan. Keanekaragaman di kelas bukan lagi pertanyaan soal kebijakan, nilai-nilai, atau prefensi pribadi. Keanekaragaman adalah fakta.
Menyadari keanekaragaman diantara siswa dan memahami bagaimana siswa belajar adalah tantangan yang terpenting yang akan dihadapi sebagai guru. Untungnya, saat ini ada teori-teori baru dan provokatif tentang bagaimana siswa belajar dan dasar pengetahuan yang semakin luas tentang keanekaragaman dan bagaimana guru dapat meniptakan kelas yang responsive secara kultural, emua siswa dihormati dan semua siswa dapat belajar.
Pemahaman dan keterampilan yang dimiliki untuk menangani kelas yang memiliki keanekaragaman, yaitu menelaah sifat kelas-kelas masa kini, tantangan dan kesempatan yang disuguhkan oleh keanekaragaman, dan kerangka kerja teoritis untuk memahami tantangan-tantangan ini. Bagian selanjutnya, mendeskripsikan tentang siswa-siswa yang memiliki distabilitas belajar dan juga tentang mereka yang memiliki bakat-bakat luar biasa. Bagian selanjutnya mendeskripsikan berbagai macam perbedaan lain yang ditemukan di kelas: perbedaan ras, etnik, budaya, agama, bahasa, gender, dan kelas social. Masing-masing bagian ini akan menyuguhkan pengetahuan ilmiah terbaik tentang berbagai perbedaan yang  ada dan memberika pedoman untuk mengajari dan menangani beragam kelompok siswa.
Hal yang sangat penting menegaskan bahwa guru tidak mungkin mengatasi sendiri semua masalah yang ada dan bagaimana reformasi tingkat sekolah dibutuhkan. Kategori-kategori yang digunakan untuk mengorganisasikan bab ini adalah konstruksi-konstruksi social yang ditentukan secara kultural.
Terakhir, penting untuk mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa yang pantas ketika anda mendiskusikan entang keanekaragaman dan ketika anda merujuk ke kelompok rasial tertent atau ke siswa-siswa dengan kebutuhan khusus.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara pendidik menangani peserta didik yang termasuk kedalam kategori disabilitas dan gifted?
2.      Bagaimana cara pendidik menangani peserta didik yang beragam secara kultural dan rasial dengan efektif?
3.      Bagaimana cara pendidik menghadapi keberagaman bahasa di kelas?
4.      Bagaimana pendidik menangani perbedaan gender di dalam kelas?
5.      Bagaimana cara menjelaskan perbedaan kelas sosial pada peserta didik?
6.      Bagaimana tindakan yang dilakukan oleh pendidik untuk memastikan kesuksesan peserta didik?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui cara pendidik menangani peserta didik yang termasuk kedalam kategori disabilitas dan gifted.
2.      Untuk mengetahui cara pendidik menangani peserta didik yang beragam secara kultural dan rasial.
3.      Untuk mengetahui cara pendidik dalam menghadapi keberagaman bahasa di kelas.
4.      Untuk mengetahui cara pendidik dalam mengahadapi perbedaan gender di kelas.
5.      Untuk mengetahui kebutuhan dan strategi yang efektif untuk menangani perbedaan kelas sosial.
6.      Untuk mengetahui tindakan yang tepat dalam memastikan kesuksesan peserta didik.

D.    Manfaat Penulisan
1.      Agar mahasiswa calon pendidik mengetahui cara bagaimana mengahadapi keberagaman peserta didik.
2.      Agar pembelajaran terlaksana dengan baik dan tepat sasaran.
3.      Agar pembaca mendapat informasi mengenai keberagaman peserta didik di kelas.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dukungan Teoritis dan Empiris
Nilai-nilai, perspektif filosofis, dan politik memengaruhi praktik mengajar di kelas yang beragam, dan inilah masalah yang perlu diperhatikan oleh para guru. Pada saat yang sama, para guru harus memberikan perhatian pada dasar pengetahuan, yang mendiskripsikan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada anak-anak dengan kebutuhan khusus dan mereka yang berasal dari beragam kebudayaan.
1.      Ekuitas
Sekolah yang memastikan ketersediaan kondisi yang tidak memihak, adil, pantas, dan sama untuk seluruh siswa adalah sekolah yang memperlihatkan equitas (Arends, 2008, hlm.43). Artinya, sekolah harus mampu menyediakan pelayanan yang baik kepada seluruh peserta didik meskipun dengan berbagai latar belakang yang berbeda, sebagai modal keberhasilan pendidikan.
Para pendidik memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama unuk belajar. Di dunia yang multikultural dan beragam ini, guru harus menciptakan suasana kelas yang inklusif dan memihak kepada semua kalangan.
Para guru harus mengkhawatirkan tentang masalah sosial yang terkait dengan ekuitas. Keyakinan ini didukung oleh penelitian, yang secara konsisten menunjukan bahwa pendidikan berhubungan dengan pendapatan dan berbagai pencapaian dalam hidup. Isu-isu mengenai kesenjangan sosial ini seharusnya menjadi kepedulian utama setiap warga negara. Pendidikan dapat memnuhi bagiannya dengan memastikan bahwa setiap pemuda memiliki keyakinan  yang kuat bahwa pendidikan sebagai rute kesuksesan kehidupan mereka kelak baik secara ekonomis, politis, maupun kultural.


2.      Perlakuan Diferensial terhadap Siswa
Salah satu body of research telah mendokumentasikan ketidaksetaraan/ketidakadilan yang ada dalam pendidikan secara keseluruhan, yang lain telah mendokumentasikan adanya perlakuan diferensial terhadap siswa oleh guru dalam kelas. Perlakuan diferensial sebagian terjadi karena guru, sadar atau tidak sadar, memiliki ekspektasi yang berbeda terhadap sebagian siswa dibanding siswa lainya (Arends, 2008, hlm.45).
Pada 1968 Robert Rosenthal dan Lenore Jacobson mempublikasikan Pygmalion in the Classroom. Buku ini mengintroduksikan konsep self fulfilling prophecy dan efek ekspektasi guru pada prestasi dan self-esteem siswa. Dalam penelitian mereka Rosenthal dan Jacobson memberikan informasi kepada para guru di sekolah tentang beberapa siswa di kelas mereka. Mereka mengatakan kepada guru tersebut bahwa beberapa siswa telah diidentifikasi sebagai “bloomers” atau orang yang berkembang melalui sebuah tes baru dan bahwa mereka dapat berharap bhwa siswa-siswi tersebut akan meraih prestasi tinggi selama tahun yang akan datang.

Guru mengekspektasikan perilaku tertentu
Pada kenyataannya siswa-siswi itu sebenarnya diidentifikasi secara acak tidak ada informasi tes khusus. Akan tetapi, ketika tahun berjalan, siswa yang diidentifikasi sebagai “bloomers” meraih prestasi yang signifikan. Hal ini karena adanya perlakuan diferesnsial guru sebagai akibat ekspektasi mereka, tindakan mengikuti berdasarkan persepsi tersebut membuat ekspektasi itu, benar-benar terwujud.


Guru berperilaku berdasarkan ekspektasinya

Perilaku siswa memperkuat ekspektasi guru



Perilaku guru dikomuniksikan kepada siswa

Siswa memenuhi ekspektasi guru
Gambar 2.1
Proses Sirkulasi Ekspektasi Guru

Perilaku guru memengaruhi siswa

3.      Kemampuan, Gaya, dan Preferensi Belajar
Perspektif ini tentang keanekaragaman yang perlu dipertimbangkan guru kelas adalah perbedaan yang terlihat dalam kemampuan siswa, talenta, dan gaya belajar. Bagaimana kemampuan dan pendekatan belajar siswa sangat bervariasi, kemudian bagaimana memproses informasi dan kognitif emosional.
a.       Kemampuan dan Inteligensi Pelajar
Salah satu langkah penting dalam memahami siswa dan pembelajaran di kelas yang beragam adalah dengan memahami perbedaan kemampuan belajar dan bagaiman kemampuan-kemampuan ini didefinikan dan diukur.
1)      Inteligensi Umum. Teori-teori tradisional mengatakan bahwa individu memiliki kemampuan mental seperti yang diukur oleh kinerjanya pada tugas kognitif tertentu, misalnya menganilisis asosiasi kata, mengerjakan soal-soal matematika, dan menyelesaikan teka-teki tertentu. Konsep intelligence quotient (IQ), menurut Woolfolk (dalam Arends, 2008, hlm.48) ditambahkan setelah tes Binet diperkenalkan ke Amerika Serikat. Sebuah skor IQ adalah komputasi umur mental seseorang yang dibagi dengan umur kronologisnya dan dikalikan 100.
2)      Multiple intelligence. Selama lebih dari dua dekade terakhir, beberapa psikolog kontemporer, seperti Howard Gardner (dalam Arends, 2008, hlm.48)  dan Robert Sternberg (dalam Arends, 2008, hlm.48) telah menentang bahwa inteligensi umum atau tunggal. Sebaliknya, penelitian mereka menunjukan bahwa inteligensi dan kemampuan jauh lebih banyak daripada sebuah dimensi tunggal berpikir logis dan bahasa. Stenberg berpendapat bahwa ada tiga tipe inteigensi, yakni analitis, kreatif, dan praktis. Inteligensi analitis melibatkan proses-proses kognitif individu. Inteligensi kreatif adalah insights individu untuk menghadapi berbagai pengalaman baru. Inteligensi praktis adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dan membentuk ulang lingkungannya.
Howard Gardner seorang teoritisi kontemporer paling terkenal tentang inteligensi sebagai sesuatu yang lebih dari sebuah kemampuan tunggal. Teori Gardner tentang multiple inteligences menyebutkan adanya delapan macam inteligensi yang terpisah: linguistic, logical mathematical, spatial, musical, bodily kinesthetic, interpersonal, intrapersonal, dan naturalist. Menurut Gardner, individu-individu berbeda kekuatannya di inteligensi-inteligensi yang berbeda.
3)      Emotional quotient. Goleman (dalam Arends, 2008, hlm.49) EQ adalah kemampuan untuk menengarai dan mengelola emosinya sendiri, untuk menengarai emosi orang lain, dan untuk menangani hubungan. Hal yang penting tentang EQ bagi guru adalah mengenali emosi sebagai sebuah kemampuan dan menyadari bahwa emosi dapat dipengaruhi seperti halnya kemampuan-kemampuan lainnya. Mengajari siswa untuk memiliki hubungan yang dekat dan mengelola emosi-emosi yang kuat seperti amarah memberikan fokus bagi banyak pelajaran hubungan manusia.
4)      Nature atau nurture? Ada perdebatan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun tentang apakah inteligensi berasal dari keturunan (nature) atau dari lingkungan (nurture). Kebanyakan psikologi masa kini mengambil jalan tengah dan melihat inteligensi sebagai hasil keturunan maupun lingkungan. Keturunan menetapkan rentang kemampuan, tetapi lingkungan sangat memengaruhi apa yang dilakukan orang dengannya.
4.      Perbedaan dalam Gaya Kognitif dan Gaya Belajar
Variasi gaya kognitif dan gaya belajar, utama dalam hal bagaimana siswa mempersepsi dunianya dan bagaimana mereka memproses  dan melakukan refleksi terhadap informasi. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan dalam otak, preferensi, dan sebagian lainny oleh budaya.
a.       Gaya Kognitif. Sudah sejak lama para psikolog melihat bahwa orang berbeda-beda dalam mempersepsi dan memproses informasi Wapner & Kemick (dalam Arends, 2008, hlm.48). Sebagian individu field dependent, mereka mempersepsi situasi secara keseluruhan dan mereka melihat gambar besar di kebanyakan situasi yang bermasalah. Sebagian lain bersifa field independent, mereka cenderung melihat bagian-bagian terpisah dari keseluruhan. Kemungkinan besar siswa-siswa yang field independent akan membutuhkan bantuan dalam melihat gambar besar dan mungkin lebih senang bekerja sendirian, sementara siswa-siswa field dependent lebih senang mengerjakan tugas-tugas jangka panjang dan berbasis masalah.
b.      Gaya Belajar. Individu-individu juga mendekati belajar dengan cara yang berbeda. Salah satu perbedaan gaya belajar yang penting disebut adalah in-context (di dalam konteks) dan out-of-context (di luar konteks). Apa artinya belajar dalam konteks? Artinya, anak-anak memperoleh keterampilan dan pengetahuan pada titik yang keterampilan dan pengetahuan itu dibutuhkan dalam situasi kehidupan nyata. Belajar di luar konteks berarti bahwa pembelajaran itu tidak berhubungan dengan kebutuhan rill dan segera. Kedua jenis mengajar dan belajar tersebut sama pentingnya, dan keduanya dapat bekerja, tetapi anak-anak terbiasa dengan belajar dalam konteks sering dibingungkan oleh pengajaran di luar konteks yang sangat dominan di sekolah-sekolah.
c.       Preferensi Belajar. Terakhir, beberapa bukti menunjukan bahwa siswa memiliki preferensi untuk jenis lingkungan dan modelitas belajar. Konseptualisasi preferensi belajar yang sangat populer dikembangkan oleh Dunn (1978, 1987). Mereka mengatakan bahwa siswa berbeda dalam hal preferensi lingkungan belajar (suara, cahaya, pola pengaturan tempat duduk), banyaknya dukungan emosional yang dibutuhkan, dan derajat struktur dan interaksi sebaya. Jelas penting bagi guru untuk menyadari bahwa siswa-siswanya memiliki cara memproses informasi yang berbeda-beda dan preferensi cara belajar yang berbeda pula.

B.     Eksepsionalitas atau Keluarbiasaan
Dewasa ini di dalam kegiatan pembelajaran seorang pendidik diharuskan untuk melaksanakan kegiatan pengajaran yang bersifat humanis artinya melaksanakan proses pembelajaran yang adil dan dapat memahami karakteristik seluruh peserta didik serta menerapkan model-model pembelajaran yang sesuai yang akan mendorong terciptanya kegiatan pembelajaran ideal. Seorang pendidik juga haruslah memiliki kesiapan mental guna mempersiapkan diri dalam menghadapi berbagai macam tantangan di dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, salah satu tantangan yang sering kali dihadapi oleh seorang pendidik adalah keragaman dari peserta didik. Salah satu bentuk keragaman peserta didik adalah Eksepsionalitas atau keluarbiasaan, terdapat dua jenis kasus yang termasuk ke dalam kategori luarbiasa ini diantaranya kasus disabilitas (siswa berkebutuhan khusus) dan siswa gifted (siswa berkemampuan luar biasa).
Siswa disabilitas adalah siswa yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang harus dipenuhi oleh pendidik agar mereka mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan seperti siswa siswa lainnya, sedangkan siswa gifted adalah siswa yang memiliki kemampuan istimewa yang jauh di atas kemampuan siswa pada umumnya. Dalam hal ini keterampilan pendidik dibutuhkan untuk menangani kasus tersebut. Perbedaan kasus membutuhkan perbedaan penanganan pula. Penanganan yang harus dilaksanakan oleh pendidik untuk kasus disabilitas adalah dengan cara memberikan fasilitas pembeajaran yang sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Selain itu pengadaan sekolah inklusi  juga turut memberikan kontribusi dalam memfasilitasi peserta didik disabilitas untuk tetap mendapatkan pendidikan yang sama dengan peserta didik lainnya tanpa adanya diskriminasi.
Sekolah inklusi adalah sekolah yang memungkinkan siswa disabilitas belajar di dalam kelas reguler, namun sekolah inklusi tetap memberikan kriteria khusus peserta didik disabilitas yang dapat bergabung di dalamnya yaitu siswa dengan disabilitas belajar ringan dan siswa yang memiliki disabilitas perilaku atau emosional. Penanganan yang dilakukan yaitu berupa penanganan khusus yang lebih intensif secara personal oleh pendidik maupun tenaga bantuan lain. Selain itu, tekonologi pun mempunyai peran penting sebagai sarana pembantu siswa disabilitas dalam melaksanakan proses belajar.
Sedangkan penanganan yang dibutuhkan untuk peserta didik gifted adalah dengan cara  memahami bidang apa saja yang menjadi kelebihan siswa tersebut dan membuat model pembelajaran yang relevan dengan kasus yang dihadapi, juga memberikan pengayaan pembelajaran bagi mereka yang memiliki kecepatan dalam belajar sehingga mereka dapat memanfaatkan kelebihan waktu yang mereka miliki dan menjadikan mereka sebagai tutor sebaya yang akan membantu siswa lainnya dalam membertajam pemahamannya tentang materi pembelajaran yang diberikan.
Meskipun kedua kasus keragaman tersebut berbeda (disabilitas dan gifted) namun inti dari penanganan masalah nya adalah sama yaitu dengan melakukan difersifikasi terhadap kurikulum pembelajaran demi menciptakan suatu pembelajaran yang sesuai dengan tujuan.

C.    Budaya, Etnis, Ras
1.      Perspektif tentang Budaya, Etnis, dan Ras
Indonesia memiliki banyak berbagai kebudayaan, bahasa, agama dan ras, dan memiliki perbedaan kelas-kelas sosial tertentu dan perbedaan gender. Dalam suatu kelas disekolah memiliki peserta didik yang berbeda kebudayaan, bahasa, agama dan ras.
Villegas (dalam Arends, 2008, hlm.48)  Teori perbedaan kultural bahwa bahasa adalah wahana untuk interaksi di sekolah, dan bila bahasa yang digunakan oleh sebuah subkultur berbeda dengan bahasa arus-utama, maka para anggota subkultur itu berada dalam posisi yang kurang diuntungkan. Villages menjelaskan: anak anak yang penggunaan bahasanya di rumah berkorespondensi dengan apa yang diharapkan di kelas memiliki keuntungan dalam proses belajar. Bagi mereka, pengalaman sebelumnya di transfer ke kelas dan memfasilitasi performa akademik mereka. Sebaliknya, anak-anak minoritas sering mengalami ketidaksinambungan dalam penggunaan bahasa di rumah dan di sekolah. Mereka sering salah di mengerti ketika menerapkan pengetahuan mereka sebelumnya dalam tugas-tugas di kelas.
2.      Menangani siswa-siswa di kelas dengan Ras dan Budaya yang beragam
Peserta didik di dalam kelas memiliki budaya yang beragam, sebagai pendidik baru yang khawatir mengenai bagaimana cara menangani dan hal apa yang dapat dilakukan di kelas agar dapat menangani peserta didik yang memiliki perbedaan budaya tersebut. Pendidik harus memiliki strategi untuk mengembangkan serta merespons beragam kebutuhan peserta didik, terlepas dari latar belakang budaya dan ras nya. Bagi seorang pendidik yang baru mengajar, cara menangani peserta didik yaitu dengan pengetahuan yang dimiliki pendidik dan sikap dari pendidik sendiri terhadap peserta didik. Yang terpenting adalah pendidik harus memastikan bahwa kurikulum yang digunakan adil dan relevan secara kultural, dan pendidik harus menggunakan strategi mengajar yang efektif dan responsif secara kultural.
a.       Mengembangkan pemahaman kultural dan kesadaran diri
Bagian pertama strategi pendidik dalam menangani berbagai budaya yang beragam pada peserta didik yaitu pendidik harus mengembangkan pengetahuannya dan pemahaman kultural yang lebih luas dan kesadaran diri yang lebih tinggi. Pendidik meningkatkan pengetahuan terhadap orang-orang yang berbeda dengan dirinya dan belajar berbagai budaya yang ada di masyarakat dan mengalahkan persepsi mengenai bias bias kebudayaan.
Cara mengenal berbagai kebudayaan di masyarakat yaitu dengan menggali informasi melalui internet, membaca buku dan artikel penelitian. Dengan mencari informasi tersebut pendidik baru akan mengetahui bagaimana dalam menghadapi perbedaan kebudayaan dengan dirinya.
b.      Menciptakan kurikulum yang relevan secara kultural dan bersifat multikultural
Seorang pendidik baru perlu kesiapan dalam membuat keputusan tentang kurikulum yang  relevan secara kultural dan bersifat multikultural. Secara umum, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai kurikulum dan pendekatan pedagogis yang mengajarkan kepada siswa untuk menghormati dan menghargai keanekaragam.
Pendekatan-pendekatan kurikulum yang ditawarkan James banks (dalam Arends, 2008, hlm.66)

Level 1
Pendekatan Kontribusi
Fokusnya adalah para pahlawan, hari besar nasional, dan elemen-elem budaya yang diskrit.

Level 2
Pendekatan Aditif
Berbagai isi, konsep, tema, dan perspektif ditambahkan ke kurikulum tanpa mengubah strukturnya.

Level 3
Pendekatan Transformasi
Struktur kurikulumnya diubah untuk memungkinkan siswa melihat berbagai konsep, isu, kejadian, dan tema dari perspektif kelompok etnik dan budsaya beragam.

Level 4
Pendekatan Tindakan Sosial
Siswa mengambil keputusan tentang berbagai isu sosial dan mengambil tindakan untuk membantu mengatasinya.

 








                                                                  





Gambar 2.2 Pendekatan-pendekatan Kurikulum

Pendekatan kontribusi, menurut banks berupa menggunakan pelajaran untuk membahas tentang pahlawan-pahlawan yang dimiliki berbagai budaya, merayakan hari besar yang dimilki berbagai budaya, dan memberikan penghargaan pada seni , musik, sastra, masakan khas, dan bahasa berbagai budaya. Sebagai contoh, seorang guru sd memperkenalkan berbagai kebergaman kebudayaan yang ada di Indonesia.
Pendekatan aditif, pendidik menyusun pelajaran atau unit-unit sampingan tentang kelompok atau budaya tertentu atau membawa literatur atau buku yang menunjukkan berbagai perspektif budaya yang berbeda. Pendekatan transformasi, pendidik berusaha mentransformasi kan kurikulumnya dengan memasukkan serangkaian konsep yang berhubungan dengan pluralisme kultural ke dalam pelajaran-pelajaran yang sedang berlangsung. Dalam pendekatan ini peserta didik dilatih agar bisa menghargai dan mengambil sikap positif terhadap orang lain dari kelompok minoritas dikelas maupun diluar kelas.
Pendekatan tindakan sosial, pendidik tidak hanya mendorong peserta didik dalam menelaah berbagai permasalahan yang terkait dengan keanekragaman budaya, tetapi peserta didik didorong untuk memiliki keterampilan dalam merancang proyek-proyek potensial untuk mengambil tindakan dan mempromosikan keadilan sosial.
c.       Menggunakan pedagogi yang relevan secara kultural
Inti penanganan keanekaragaman kultural adalah kempampuan guru untuk mengaitkan antara dunia siswa dan budayanya dengan dunia sekolah dan kelas. Kemampuan itu akan memungkinkan guru untuk menemukan cara melekatkan budaya siswa ke setiap pelajaran dan tindakan. Strategi yang digunakan seperti Learning to Teach yaitu dengan membentuk dasar untuk mengajar di kelas yang beragam budayanya, dan cooperative learning yang telah terbukti efektif dengan populasi siswa yang beragam dan dalam mengubah secara positif sikap siswa yang beragam budayanya. Oleh karena itu, perhatian yang diberikan  disini adalah pada strategi-strategi intruksional yang secara khusus diarahkan pada kelas yang beragam kulturalnya.
d.      Mengaitkan dengan pengetahuan sebelumnya
Guru dapat mendasarkan diri pada pengetahuan siswa sebelumnya dan membantu mereka untuk mengaitkan antara apa yang sudah mereka ketahui dan apa yang akan mereka pelajari. Hal ini dilakukan untuk membantu siswa untuk melihat persamaan dan perbedaan diantara berbagai budaya dan membantu siswa dalam mengembangkan kesadaran multukultural. Agar dapat melakukannya secara efektif huru harus aktif mencari informasi tentang pengetahuan siswa sebelumnya dan memahami budaya siswa-siswanya sekaligus mengukur apa yang sudah dan belum diketahui oleh siswa.
e.       Menggunakan pengelompokkan yang fleksibel
Mengelompokan siswa ini dnegan maksud agar siswa banyak menyadarkan diri pada pengelompokan yang heterogen dan meminimalkan pengelompokan berdasarkan kemampuan. Guru seharusnya memastikan bahwa ada siswa yang memiliki kemampuan  tinggi, sedang, rendah disetiap kelompok belajar dan berusaha mencapai keseimbangan rasial dan etnik. Keanggotaan di kelompok kemampuan seharusnya bersifat fleksibel, kelompok seharusnya berubah bila siswa menunjukkan kemajuan dan ketika kebutuhan baru dan berbeda diidentifikasi.
f.       Memberi perhatian pada gaya belajar
Guru dapat merancang kegiatan belajar yang sesuai dengan berbagai gaya belajar dalam membuat gaya variasi dalam pengajarannya. Salah satu rutenya adalah memasukkan modalitas visual, auditorik, taktil dan kistik kedalam pelajaran. Guru juga dapat menerapkan struktur tugas dan reward yang kooperatif maupun individualistic.
g.      Assigning competence
Sebuah pertimbangan terkait dalam perencanaan dan penyajian pelajaran adalah mengapitalisasikan kemampuan yang sudah dimilki siswa. Hal ini sangat penting bagi anak-anak yang berbeda secara kultural yang mungkin diberi status rendah untuk alasan apapun. Guru dapat menggunakan teknik ini untuk menetapkan kompetensi, guru pertama mengamati siswa dengan teliti selama mereka mengerjakan berbagai tugas dan kemudia mengidentifikasi kemampuan khusus masing-masing siswa, setelah itu guru secara khusus dan terbuka mengumumkan hasil kompetensi siswa tertentu. Hal ini guna meningkatkan motivasi peserta didik untuk berprestasi lebih baik lagi.
h.      Menerapkan pengajaran strategi
Yaitu elemen instruksional yang seharusnya menjadi bagian penting pengajaran. Karakteristik yang membedakan pelajar yang  baik dan pelajar yang buruk adalah kemampuannya untuk menggunakan strategi belajar untuk menyelesaikan berbagai masalah agar bisa belajar dengan sukses.
i.        Memberi perhatian kepada motivasi
Motivasi menjadi kepedulian utama yang dapat diubah yang menyangkut kemampuan siswa untuk terlibat dan persisten dalam mengerjakan tugas-tugas belajar. Strategi yang digunakan untuk meningkatkan motivasi untuk siswa berisiko, salah satunya program HOTS dikembangkan untuk siswa SD di remedial pull-out programs (program mengeluarkan siswa dari kelas regular untuk ditempatkan dikelas khusus selama beberapa jam setiap hari untuk tujuan perbaikan. Program ini telah terbukti efektif dalam membantu  siswa untuk meraih kesuksesan di sekolah dan menemukan tantangan dan interaksi yang jauh lebih memotivasi daripada latihan dan praktik terus-menerus. Strategi kedua yaitu program untuk siswa SMA hispanik yang difokuskan pada pengutamaan untuk belajar di perguruan tinggi , sebagian melalui pembicaraan yang berorientasi pada masa depan. Terakhir, community problem solving (mengatasi masalah masyarakat) adalah strategi yang berbasis pada masalah yang terbukti efektif di kelas-kelas yang beragam. Strategi ini digunakan guru untuk mendorong siswa untuk mengidentifikasikan keprihatinan mereka tentang masyarakat atau lingkungan tempat tinggalnya dan membantu mereka merencanakan dan melaksanakan berbagai proyek independen.
3.      Keanekaragaman religius
Kebijakan yang lebih besar tentang peran agama di sekolah tertentu kiranya berada di luar pengaruh seorang guru. Akan tetapi, guru dapat memainkan peran vital dalam mengajarkan tentang agama dan memberikan teladan tentang sikap menghormati dan toleransi terhadap berbagai macam keyakinan religious.
Guru mestinya juga menerima ketidakhadiran siswa karena mengikkuti hari besar keagamaan tertentu dan mencegah siswa ejekan oleh siswa yang memiliki keyakinan berbeda. Mereka dapat mengajarkan dan mendiskusikan berbagai ide, keyakinan dan tradisi berbagai agama selama hal itu dilakukan secara adil, dengan sikap hormat, jujur secara intelektual.

D.    Keberagaman Bahasa
Keanekaragaman bahasa mereprentasikan salah satu perubahan signifikan dalam demografis sekolah di Indonesia. hampir semua siswa di Indonesia memiliki bahasanya sendiri yang berasal dari bahasa daerah, tidak semua siswa yang bersekolah di sekolah yang sama memiliki bahasa daerah yang sama. Oleh karena itu mereka harus mempelajari bahasa yang semua orang mengerti dan paham yaitu Bahasa Indonesia yang merupakan Bahasa Nasional. Pendidik harus mengenali bahasa itu sebagai salah satu faktor besar di sekolah dan mengembangkan berbagai cara untuk menangani peserta didik yang berbicara dengan berbagai macam dialek atau bahasa yang berbeda sebagai bahasa daerahnya.
Penting untuk ditekankan bahwa orang-orang yang berbicra dengan dialek tertentu atau bahasa deerah bukan berarti mengunakan bahasa yang “kampungan”, melainkan mereka masih dan ingin selalu mencintai dan melestarikan bahasa derahnya masing-masing.
1.      Cara Menangani Keanekaragaman Bahasa Di Kelas
Sikap seorang pendidik untuk menangani keanekaragama bahasa yang dimiliki para peserta didiknya yaitu, dengan memaksimalkan input bahasa yang mudah dipahami dan di merengerti, dengan itu akan membantu peserta didik menguasai bahasa tersebut. sebagai contoh, sebuah universitas yang banyak di minati oleh mahasiswa berbagai daerah, dan universitas tersebut berada di daerah jawa barat. Namun banyak mahasiswa dari luar jawa barat, karena di universitas tersebut mayoritas berasal dari jawa barat maka harus ada lebih banyak interaksi antar mahasiswa asli jawa barat dan luar jawa barat. Hal itu akan mempermudah mahasiswa menguasai bahasa tersebut. untuk mempermudah pembelajar pendidim dapat di bantu dengan bahasa indonesia yang hampir semua mahasiswa mengerti dan pahami seluruhnya.

E.     Perbedaan Gender
Isu bias gender telah menjadi masalah di kelas-kelas di Amerika. Terutama pada anak perempuan bagaimana mereka disosialisasikan, apakah ada perbedaan gender dalam kemampuan verbal dan matematik, dan apakah perbedaan-perbedaan itu bersifat alamiah atau akibat sosialisasi diferensial. Akan tetapi, ada juga keprihatinan tentang bagaimana anak laki-laki tertinggal di bidang keterampilan verbal dan angka keikutsertaan mereka di perguruan tinggi.
1.      Sifat Perbedaan Gender
Apa perbedaan anak perempuan dan anak laki-laki? Kebanyakan studi tidak menemukan perbedaan besar yang melekat pada anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal kemampuan kognitif secara umum Halpern dan Lamay (dalam Arends, 2008, hlm.77). Akan tetapi, Diane Halpern (dalam Arends, 2008, hlm.77) mengatakan bahwa memang ada beberapa perbedaan. Anak perempuan menunjukan kinerja yang lebih baik di bidang seni bahasa, pemahaman bacaaan, dan komunikasi tertulis dan lisan, sementara anak laki-laki sedikit unggul di bidang matematika dan penalaran matematis. Sebagian lainnya ada yang mengatakan bahwa perbedaan gender dalam kaitannya dengan kognisi dan prestasi mungkin bersifat situsional.
Dalam kepribadian dan fisik perbedaan tersebut lebih nyata dan konsisten. Laki-laki tampak lebih asertif dan memiliki self-esteem yang lebih tinggi dibanding perempuan, yang cenderung lebih terbuka dan memercayai orang lain.
Fitur
Perbedaan/Persamaan
Implikasi untuk Pendidikan
Kemampuan Kognitif
Keduanya memiliki kemampuan kognitif yang hampir sama. Anak perempuan lebih baik dalam tugas verbal; anak laki-laki lebih baik dalam keterampilan visual-spasial
Mengharapkan keduanya untuk memiliki kemampuan kognitif yang sama
Fisik
Sebelum peubertas keduanya memiliki kapabilitas yag sama. Setelah pubertas, laki-laki unggul dalam hal tinggi badan dan kekuatan otot.
Mengasumsikan keduanya memiliki potensi untuk mengembangkan berbagai keterampilan fisik dan motorik, terutama seama di sekolah dasar.
Motivasi
Anak perempuan pada umumnya lebih peduli tentang prestasinya di sekolah mereka cenderung bekerja kerasa di berbagai tugas tetapi kurang berani mengambil risiko. Anak laki-laki mengerahkan usaha lebih besar di subjek-subjek yang “stereotipikal laki-laki” seperti matematika, sains. mekanika
Mendorong keduanya unggu di semua subjek; menghindari stereotipe
Self-Esteem
Anak laki-laki memiliki rasa percaya diri tentang kemampuannya untuk mengendalkan dan mengatasi masalah; anak perempuan cenderung melihat drinya lebih kompeten di hubungan interpersonal. Anak laki-laki memiliki kecenderungan untuk menlai kinerjanya sendiri secara lebih positif dibanding anak perempuan, meskipun kinerja aktual mereka sama.
Menunjukan kepada semua siswa bahwa mereka bisa berhasil di bidang-bidang yang kontrastereotipikal
Aspirasi Karier
Anak perempuan cenderung meliat dirinya sendiri lebh college-bound daripada anak laki-laki. Tetapi anak laki-lai memliki memiliki ekspetasi jangka panjang yang lebih tinggi untuk dririnya sendiri, khususnya di bidang-bidang yang stereotipikal maskulin. Anak perempuan cenderung memilih karier yang tidak akan mengganggu peran mereka di masa depan sebagai pasangan atau orang tua
Memapari semua siswa dengan model-model laki-laki dan perempuan yang sukses di semua bidang. Menunjukan orang-orang yang sukses dalam karier sekaligus keluarga
Hubungan Interpersonal
Anak laki-laki cenderung menunjukan agresi fisik yang lebih tinggi; anak perempuan cenderung lebih afiliatif dan lebih banyak membentuk hubungan dekat. Anak perempuan lebih nyam dalam situasi yang kompetitif dan kooperatif
Mengajari keduanya cara-cara berinteraksi yang kurang agresif dan memberikan lingkungan yang kooperatif untuk mengakomodasi kecenderungan afiliatif anak-anak perempuan

2.      Asal Muasal Perbedaan Gender
Asal perbedaan gender yang pertama adalah nature yaitu aspek biologis dan hormon yang mempengaruhi jenis permainan. Perbedaan yang kedua ialah nurture perbedaan ini terbentuk karena adanya proses belajar dari lingkungan dimana mereka tinggal. Zambo dan Hess (dalam Arends, 2008, hlm.79) mengatakan bahwa beberapa perbedaan gender mungkin sudah ada sejak lahir, tetapi perbedaan itu tidak tetap dan dapat diubah melalui pengalaman

3.      Stereotipe Dan Perlakuan Diferensial
Semenjak kecil anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang tua. Maka, laki-laki dan perempuan belajar dengan cara yang dipelajari dirumah. Berbagai penelitian Sadker, Sadker, & Klein, 1991; Women on Words and Images (1975) menemukan bahwa laki-laki lebih banyak digambarkan dalam peran-peran aktif dan profesional, sementara perempuan lebih sering diperlihatkan dalam peran-peran pasif dan mengurus rumah. Seperti halnya perlakuan guru di kelas pada siswa anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki lebih banyak mendapat perhatian dari guru karena dianggap akan sering menimbulkan banyak masalah.
Bias gender dan perlakuan diferensial terhadap anak perempuan masih menjadi masalah. Akan tetapi, Eccles (1989) dan Ormrod (2000) melaporkan bahwa sekolah dan guru semakin berusaha memberikan perlakuan yang sama kepada anak laki-laki dan anak perempuan
4.      Menangani Perbedaan Gender Di Kelas
Berikut beberapa cara menangani perbedaan gender di kelas:
a.       Sadarilah tentang keyakinan dan perilaku Anda sendiri.
b.      Pantau frekuensi dan sifat interaksi verbal Anda.
c.        Pastikan bahwa bahasa dan materi kurikulum Anda bebas-gender dan berimbang.
d.      Berikut tugas-tugas kelas kepada anak-anak dengan cara yang equitable (seimbang, adil, fair) dan temukan cara agar anak laki-laki dan anak perempuan dapat bermain bersama dengan tenang dan aktif. Tindakan infromal ini dapat memberikan model yang dapat diikuti siswa.
e.       Dorong siswa untuk reflektif terhadap hasil kerja dan sikapnya sendiri dan diskusikan tentang stereotipe peran-jenis dengan siswa.
f.       Tunjukan sikap hormat kepada seluruh siswa dan tantang anak laki-laki dan anak perempuan dengan cara yang baik.

F.     Perbedaan Kelas Sosial
Socio Economic Status (SES) merupakan istilah yang menunjukan perbedaan-perbedaan individu dalam kelas sosial di masyarakat barat. Serta, menunjuk kepada perbedaan-perbedaan yang terkategorikan menjadi empat kelas sosial-ekonomi yaitu: Upper class (kelas atas), Middle class (kelas menengah), Working clas (kelas pekerja), dan Lower class (kelas bawah/rendah). Beberapa karakteristik yang menentukan identifikasi kelas sosial seseorang adalah pekerjaan, penghasilan, kekuasaan politis, pendidikan, lingkungan tempat tinggal dan latar belakang keluarga. Akan tetapi, garis batas-batas diantara SES-SES itu tidak selalu ditetapkan dengan jelas. Karena SES terbilng relatif, seseorang bisa saja tinggi di salah satu karakteristik, tetapi tidak begitu tinggi di karakteristik lainnya.
1.      Karakteristik dan Kinerja Siswa-Siswa dengan SES-rendah
Banyak anak dari orang tua kelas pekerja dan hampir semua anak dari keluarga dengan SES-rendah hidup dalam kemiskinan. Sebagian dibesarkan di keluarga dengan orang tua tunggal dan oleh orang dewasa yang kurang memiliki pendidikan, profisiensi bahasa, dan keterampilan kerja. Banyak anak-anak dengan SES-rendah yang juga merupakan anak-anak dari wilayah tertinggal yang memungkinkan besar memiliki pendidikan formal terbatas dan mungkin memiliki penguasaan bahasa nasional yang terbatas. Umumnya anak-anak dengan SES-rendah datang ke sekolah tanpa sarapan, mengenakan pakaian yang sudah tua, dan bertutur dengan bahasa yang berbeda dengan yang digunakan di sekolah serta menunjukan prestasi yang lebih rendah atau kesenjangan prestasi antara SES-rendah dengan SES-menengah. Anak-anak dengan SES-rendah sering menerima kurikulum yang tidak setara, tracking dan interaksi diferensial dengan guru di kelas. Mereka juga kurang banyak yang terdaftar di program pendidikan persiapan kuliah di perguruan tinggi dan memiliki kemungkinan kecil untuk kuliah di perguruan tinggi.
2.      Perlakuan diferensial terhadap Siswa-Siswa dengan SES-Rendah
Perilaku diferensial menjadi salah satu penjelasan prestasi yang lebih rendah pada siswa-siswa dengan SES-rendah. Biasanya guru menetapkan ekspektasi yang rendah dan stereotipe atau menilai siswa secara subjektif atau apa yang nampak karena pakaian yang mereka kenakan serta karena bahasa yang mereka gunakan. Seperti dideskrifsikan sebelumnya, ekspektasi rendah guru terhadap siswa-siswanya akan menghasilkan self-sesteem (harga diri) yang rendah pada anak-anak ini dan ekspektasi yang rendah pula terhadap hasil kerjanya sendiri.
Masalah paling serius bagi siswa dengan SES-rendah adalah pengelompokan berdasarkan kemampuan dan  tracking. Siswa-siswa dengan SES-rendah secara tidak proporsional ditempatkan di kelompok-kelompok berkemampuan rendah dan kelas-kelas  track-rendah yang kualitas pengajarannya lebih buruk dibanding kelompok-kelompok yang lebih tinggi.
Penetapan ekspektasi yang rendah seharusnya tidak dilakukan oleh seorang guru, karena siswa SES-rendah akan merasa tidak di adili oleh gurunya, sedangkan seorang guru merupakan fasilitator untuk setiap siswanya baik SES-rendah maupun SES-menengah.
3.      Menangani Siswa-Siswa dengan SES-Rendah
Munculnya perbedaan SES jelas akan mengakibatkan adanya diversitas atau keberagaman diantara siswa-siswa, yang tentunya akan mengakibatkan kesenjangan pendidikan bagi orang-orang yang tergolong pada SES-rendah dibandingkan dengan SES-menengah. Sebagai seorang guru, seorang guru tentunya harus bertanggungjawab atas kemajuan suatu pendidikan dengan memberikan layanan pendidikan yang adil, tidak berlaku tidak adil kepada siswa yang memiliki SES-rendah.
Oleh karena itu, terdapat 6 cara untuk menangani siswa-siswa dengan SES-rendah diantaranya:

a.       Bangun Kepercayaan dengan Siswa
Bangun kepercayaan dengan Siswa yang mungkin merasa didiskriminasikan atau merasa ditinggalkan perlu diketahui bahwa guru ada sebagai fasilitator mereka. Luangkan waktu untuk berbicara dengan siswa secara individual untuk memahami siswa atau mengunjungi keluarga dan pergi ke rumah siswa yang memiliki masalah, dengan menunjukan kesediaan untuk dapat menerima siswa SES-rendah dan tidak berekspektasi rendah dan steretipe atas kemampuan mereka.
b.      Melibatkan Siswa
Melibatkan siswa merupakan hal yang sangat penting, dengan ini siswa SES-rendah akan merasa sama dengan SES-menengah sehingga mampu mencegah adanya kesenjangan diantara keduanya. Seorang guru pun bisa menambah pembelajaran dengan membandingkan perbedaan tanpa menyudutkan pihak manapun sehingga terbangun Motivasi bagi siswa SES-rendah untuk merubah keadaannya.
c.       Membuat sebuah Perayaan
Dengan niat agar seluruh siswa dapat menerima teman-temannya satu sama lain, sebuah perayaan dapat menjadi sebuah media pendekatan yang efektif bagi seluruh siswa karena pada umumnya sebuah perayaan merupakan hal yang identik dengan kegembiraan.
d.      Melibatkan Orang Tua
Orang tua memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai situasi ekonomi mereka cenderung memberi saran lebih baik kepada siswa sambil mengasuh anak secara bersamaan. Jika siswa merasa malu dengan SES-rendah, orang tua bisa memotivasi anak mereka agar tidak membiarkan faktor ini menunda anak dalam pergi ke sekolah tapi untuk memotivasi mereka, mengetahui fakta sebenarnya bahwa dengan pendidikan yang lebih tinggi, suatu hari nanti siswa tersebut bukan anak malang. Terlepas dari masalah apa yang mungkin ada, orang tua akan selalu memiliki kepentingan terbaik untuk anak mereka.
e.       Mengenalkan buku
Buku merupakan pengetahuan tertulis yang dapat dibaca kapan saja, agar siswa SES-rendah mampu mengimbangi anak-anak SES-menengah, seorang guru bisa merekomendasikan berbagai buku kepada siswa sehingga siswa mampu mengejar ketertinggalannya.
f.       Membiasakan Siswa Menulis
Guru harus melihat proses pemikiran mereka dengan baik dan melihat bagaimana mereka secara sadar memastikan bahwa kelas mereka adalah kelas yang merayakan keragaman dan menyingkirkan diskriminasi dan bias. Adakah stereotip yang mempengaruhi pemikiran guru terhadap kelompok atau siswa tertentu? Sulit untuk menghadapi perspektif seperti ini. Maka, seorang guru harus belajar lebih banyak, dan mulai membiasakan diri untuk menjauh dari gagasan yang telah terbentuk sebelumnya untuk membantu siswa kita merasa diterima. Sementara kegiatan yang disebutkan di atas adalah titik awal yang bagus untuk menetapkan landasan yang kokoh atau kelas yang responsif.

G.    Beberapa Pemikiran Akhir dan Isu-Isu Tingkat Sekolah
Semua masalah yang terkait dengan keanekaragaman tidak dapat diatasi sendiri oleh guru. Sebaliknya, hal itu membutuhkan tindakan tingkat sekolah untuk membuat sekolah yang lebih sensitif terhadap siswa-siswa yang berasal dari beragam latar belakang dan dengan berbagai kebutuhan khusus. Salah satu temuan yang paling konsisten dari penelitian adalah tracking berdasarkan kemampuan atau retensi tidak mendulung prestasi. Praktik semacam itu juga memiliki konsekuensi yang merugikan bagi siswa-siswa minoritas. Jadi, langkah yang baik untuk memulai reformasi adalah dengan mengurangi atau menghapus tracing. Banyak sekolah saat ini sedang mengembangkan kurikulum interdisipliner, yang banyak menyadarkan diri pada pembelajaran kooperatif untuk penerapan tes-tes standar, dan pengelompokan yang fleksibel (Kohn, 1996; Oakes & Lipton, 2007).
Juga ada tingkat sekolah yang dapat mengambil untuk menangani keadaan kehidupan siswa-siswa “beresiko” yang berat kemiskinan. Kebanyakan sekolah menawarkan makanan siang gratis atau dengan harga lebih murah untuk siswa, tetapi hanya sekitar 50 persen di antara sekolah-sekolahini yang juga menawarkan sarapan gratis dengan harga lebih murah.
Program-program sekolah yang menargetkan intervensi-dini juga membantu. Efektifitas salah satu program semacam itu-head star (program pendidikan dan kesejahteraan di amerika serikat)- sudah terbukti. Untuk setiap dolar yang diinvestasikan di Head Star, lebih banyak anak yang terselamatkan dengan mengurangi kebutuhan mereka akan tindakan pendisiplinan dan remediasi, tunjangan kesejahteraan, pengadilan kriminal.
Jalur penting lain yang dapat di tempuh untuk memperbaiki hasil pendidikan siswan dengan SES rendah adalah keterlibatan orangtua dan masyarakat. Bila orangtua dan anggota masyarakat lainnya dilibatkan dalam kehidupan sekolah melalui berbagai program tutoring, program mentoring, komite perbaikan sekolah, pendidikan untuk orang tua, site-based govermance, atau kegiatan-kegiatan lainnya, maka siswa dapat mendapat manfaatnya (Epstein, 1995,2001;Epstein & Sandres, 2002; Nettles, 1991)
Hal yang paling mendasari semua rekomendasi di bab ini adalah pentingnya guru untuk menghargai siswanya secara individual maupun kolektif dan menantang mereka untuk mencapai  potensi tertingginya. Claude Steele (dalam Arends, 2008, hlm 85)  menggarisbawahi tema-tema tentang nilai dan tantangan ini dengan mengatakan, “Bila segala yang berarti dan penting bagi siswa,siswa harus merasa dihargai oleh guru baik untuk potensi yang dimilikinya maupun sebagai orang.” Bila apa pun yang terjadi di sekolah- kurikulum yang dimaksudkan untuk diremediasi (perbaikan), atau pengajaran yang di maksudkan sebagai pendagogi kemiskinan-mengurangi perasaan siswa bahwa dirinya adalah orang yang dihargai, siswa yang cenderung tidak mengidentifikasi diri dengan tujuan sekolah. Tantangan intelektual berjalan seriiring dengan sikat menghargai. “Hubungan guru-siswa yang saling mengahargai tidak akan berjalan tanpa tantangan, dan tantangan dari luar hubungan yang saling menghargai akan ditentang”.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sangat penting untuk menggunakan bahasa yang tepat ketika mendiskusikan tentang keanekaragaman dan merujuk ke latar belakang dan kemampuan siswa. Ekuitas mengacu pada penciptaan kondisi di sekolah yang tidak memihak dan sama bagi semua orang. Perlakuan diferensial mengacu pada perbedaan pengalaman pendidikan yang dialami mayoritas ras, kelas, budaya, dan gender; dan yang dialami minoritas. Ekspektasi guru memngaruhi hubungan dengan siswa, apa yang mereka pelajari, dan ekspektasi terhadap kemampuan mereka pelajari, dan ekspektasi terhadap kemampuan mereka sendiri.
Pembelajar siswa disabilitas di sekolah inklusi haruslah mendapatkan penanganan yang tepat dan intensif dari pendidik , sehingga aspek-aspek kehidupan mereka dapat berkembang dengan baik. Seorang pendidik dituntut harus cerdas dalam menangani siswa disabilitas maka dari itu pendidik harus memahami betul karakter siswa tersebut dan keterbatasan apa yang menjadi hambatan siswa tersebut, untuk selanjutnya dapat membuat perencanaan pembelajaran yang tepat, juga menetapkan metode dan media pembelajaran yang sesuai dengan keadaan siswa tersebut. selain itu butuh dijalin kerja sama yang baik antara orang tua siswa dan guru pembantu khusus agar bimbingan dapat dilaksanakan dengan sebaik baiknya.
Sedangkan, penanganan yang dibutuhkan bagi peseta didik gifted adalah yang pertama pendidik harus mampu mengidentifikasi siapa saja siswa yang tergolong gifted dengan mengenali dari ciri ciri yang muncul pada setiap peserta didik, selanjutnya peserta didik dapat menentukan strategi-strategi pembelajaran yang sesuai bagi peserta didik gifted juga seorang pendidik dapat memberikam ekspektasi yang tinggi terhadap mereka agar dapat memicu optimalitas pembelajaran mereka. Terlepas dari perbedaan tersebut persamaan penanganan terhadap dua kasus tersebut adalah dengan melakukan difersifikasi terhadap pembelajaran yang dilaksanakan (memodifikasi pengajaran atau kurikulum untuk memenuhi kebutuhan siswa disabilitas maupun gifted).
Di dalam kelas seorang pendidik dihadapkan dengan berbagai kebudayaan dan ras dari peserta didik, sehingga seorang pendidik harus memahami bagaimana cara dalam menangani peserta didik ketika sedang didalam kelas. Seorang pendidik harus memahami setiap karakter yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik yang beragam baik dari segi budaya, etnis maupun ras.
Pendidik akan menemukan keanekaragaman bahasa yang signifikan di kelas-kelas masa kini. Hal ini termasuk keanekaragaman dalam dialek yang di ucapkan oleh peserta didik, baik  dengan bahasa daerah ataupun dalam bahasa Indonesia yaitu bahasa Nasional. Keanekaragaman bahasa harus dihormati dan penting untuk ditekankan bahwa orang-orang yang berbicra dengan dialek tertentu atau bahasa deerah bukan berarti mengunakan bahasa yang “kampungan”, melainkan mereka masih dan ingin selalu mencintai dan melestarikan bahasa derahnya masing-masing.
Meskipun pengajar didominasi oleh perempuan, bias gender dan perlakuan diferensial terhadap anak perempuan masih menjadi masalah disekolah. Sebagian besar studi menunjukan bahwa terdapat beberapa perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki lebih unggul dalam bidang penalaran matematis sedangkan anak perempuan lebih baik di bidang seni bahasa, membaca dan komunikasi lisan maupun tulisan. Guru berinteraksi dengan cara yang berbeda dengan anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka lebih banyak mengajukan pertanyaan, pujian, independensi kepada anak laki-laki. Guru efektif menyadari kemungkinan bias gendernya sendiri, menghormati dan menantang semua siswa dan memastikan bahwa materi bahasa dan kurikulumnya bebas-gender dan seimbang.
Socio Economic Status (SES) merupakan istilah yang menunjukan perbedaan-perbedaan individu dalam kelas sosial di masyarakat barat. Tingkatan SES terkategorikan menjadi empat tingkatan diantaranya: Upper class (kelas atas), Middle class (kelas menengah), Working clas (kelas pekerja), dan Lower class (kelas bawah/rendah). Munculnya perbedaan SES jelas akan mengakibatkan adanya diversitas atau keberagaman diantara siswa-siswa. Maka dari itu, seorang guru tentunya harus mampu menangani kasus seperti ini, terdapat 6 upaya yang dapat dilakukan oleh seorang guru dalam kasus ini diantaranya: Bangun Kepercayaan dengan Siswa, Melibatkan Siswa, Membuat sebuah Perayaan, Melibatkan Orang Tua, Mengenalkan buku, dan Membiasakan Siswa Menulis. Serta seorang guru harus membuang  persfektif yang negatif terhadap siswa SES-rendah sehingga tidak terjadi streotipe dan diskriminasi diantara siswa-siswa yang berbeda.

B.     Saran
Semua masalah yang terkait dengan keanekaragaman tidak dapat diatasi sendiri oleh guru. Sebaliknya, hal itu membutuhkan tindakan tingkat sekolah untuk membuat sekolah yang lebih sensitif terhadap siswa-siswa yang berasal dari beragam latar belakang dan dengan berbagai kebutuhan khusus. pentingnya guru untuk menghargai siswanya secara individual maupun kolektif dan menantang mereka untuk mencapai  potensi tertingginya.


DAFTAR PUSTAKA

 

Arends, R. I. (2008). Learning To Teach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Emily. (2016, April 3). Education to the core. Retrieved July 7, 2017, from http://educationtothecore.com/2016/04/ways-to-celebrate-diversity/








1 komentar:

  1. Fire Emblem: Burning Titanium | titanium-arts.com
    Tamekatsu no Tetsuden no Tetsuden no Tetsuden No Tetsuden No Tetsuden No Tetsuden No Tetsuden No titanium lug nuts Tetsuden black oxide vs titanium drill bits No Tetsuden No Tetsuden titanium fidget spinner No Tetsuden No Tetsuden  Rating: 2016 ford fusion energi titanium 5 silicone dab rig with titanium nail · ‎9 reviews

    BalasHapus